Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/02/2017, 14:00 WIB

Petaka itu datang begitu tiba-tiba. Laini Wati (18) dan Amin Rais (19) masing-masing harus kehilangan satu kaki. Kaki mereka diamputasi karena digerogoti kanker. Semula mereka tak bisa menerima kenyataan itu. Tetapi, kini mereka bertekad bangkit. Cita-cita tidak boleh pupus meski satu kaki telah putus.

Senin (30/1) sore, suasana di sebuah rumah di Jalan Sepat, Lamprit, Kuta Alam, Banda Aceh, sepi. Di ruang tengah, di atas karpet busa, Laini merebahkan badan. Untuk mengusir suntuk, dia menyalakan televisi. Kaki kiri diluruskan. "Kaki kanan sudah diamputasi," ujarnya tersenyum sambil menunjukkan kaki kanannya yang sudah tidak ada lagi.

Kaki kanan Laini, Oktober 2016, diamputasi mulai dari pangkal paha. Dia mengidap kanker tulang di lutut. Agar kanker tidak menjalar, kakinya harus dipotong. "Tidak apa-apa (diamputasi) yang penting saya sembuh dan bisa kembali sekolah," ucapnya semangat.

Laini bercerita, awalnya, pada Juni 2016 dirinya menemukan benjolan di lutut. Dua bulan kemudian benjolan itu kian besar. Ketika orangtuanya membawa Laini ke rumah sakit di Aceh Singkil, dokter mengatakan kaki Laini harus diamputasi karena kanker mulai menyebar.

Tak menerima saran dokter, Laini dibawa ke dukun. Bukannya sembuh, kankernya justru kian parah. Lutut Laini bengkak sebesar bola voli dan bernanah. Laini dan orangtuanya pun pasrah. Mereka akhirnya menerima kaki kanan Laini diamputasi.

Di kamar lain, Amin serius bersama buku catatan hariannya. Di buku bersampul coklat itu, dia menumpahkan isi hatinya. Dia menulis tentang penyakit yang tengah diidapnya.

Kaki kiri Amin diamputasi mulai dari pangkal paha pada November 2016. Awalnya, Juli 2016, kaki Amin terkilir. Beberapa bulan kemudian kakinya bengkak. Saat dibawa ke rumah sakit, Amin dinyatakan menderita kanker tulang dan masuk stadium lanjut.

"Masih agak nyeri. Tetapi, sudah agak lumayan. Saya sudah bisa duduk dan jalan pakai kruk," ujar Amin yang berasal dari Aceh Tenggara.

Laini berasal dari keluarga berekonomi lemah. Orangtuanya petani palawija dengan penghasilan pas-pasan. Saat kanker mulai menggerogoti lututnya, dia baru kelas X SMA. Prestasinya selalu masuk 10 besar. "Saya mau jadi guru. Bisa gak, ya, jadi guru, tapi pakai tongkat?" ujarnya. Laini ingin kembali bersekolah.

Adapun Amin sejak usia dua tahun ditinggal ibu dan ayahnya. Orangtuanya cerai dan Amin dititipkan kepada kakeknya. Angga, nama pemberian ayahnya, diganti oleh kakeknya menjadi Amin Rais. "Kakek mau saya seperti Pak Amien Rais," kata Amin. Dia lahir pada 4 Agustus 1998, tiga bulan setelah peristiwa reformasi yang dimotori antara lain oleh Amien Rais.

Amin suka menulis. Dia kerap menyemangati diri dengan menulis di buku hariannya. Di salah satu halaman, dia menuliskan cerita berjudul Perjuangan. "Di antara penyakit yang turun padaku mungkin ini rahmat bagiku. Malam-malam yang penuh bintang, kini lenyap di mataku. Oh, Tuhan, berikanlah kekuatan untuk melawan penyakit ini supaya kelak aku bisa meraih bintang".

Amin yang kini duduk di kelas XI SMA bercita-cita menjadi penulis dan pengusaha. "Saya ingin melanjutkan pendidikan sampai sarjana. Kalau ada rezeki, saya mau buka usaha sambil kuliah," ujarnya.

Rumah bersama

Laini dan Amin saat ini tinggal di rumah singgah bagi anak dengan kanker di Jalan Sepat yang dikelola Komunitas Peduli Anak dengan Kanker (C-FOUR) Aceh. Tinggal di rumah singgah membuat anak dengan kanker saling menyemangati. Amin dan Laini sering bercerita tentang kampung dan sekolah mereka.

Pendiri sekaligus koordinator C-FOUR Aceh, Ratna Eliza, menuturkan, banyak pengidap kanker berasal dari keluarga miskin. Biaya pengobatan ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Namun, keluarga korban kerap kesulitan memenuhi biaya makan dan tempat tinggal selama pengobatan.

"Ini rumah bersama. Anak dengan kanker perlu didampingi agar kuat dan semangat. Mereka punya hak untuk hidup dan meraih cita-cita," kata Ratna.

Selama tinggal di rumah singgah, kebutuhan pasien dan keluarganya dibiayai para relawan. Adapun biaya operasional rumah singgah mengandalkan sumbangan banyak pihak.

Sejak 2014, C-FOUR Aceh telah mendampingi 70 anak dengan kanker. Tiga puluh anak di antaranya meninggal. Menurut Ratna, banyak korban yang terlambat ditangani. Saat dibawa ke rumah sakit, kanker masuk stadium empat.

Menurut Ratna, pengetahuan warga terhadap gejala kanker rendah. Bahkan, sebagian warga menganggap kanker sebagai kutukan sehingga pengidap kerap dikucilkan. "Padahal, dukungan keluarga sangat penting dalam penyembuhan," ujarnya.

Edek (50), ibu Laini, mengatakan, dirinya kini tidak lagi risau dengan biaya makan dan tempat tinggal selama mendampingi anaknya berobat di Banda Aceh. Sebelum masuk ke rumah singgah, Edek terpaksa tidur di lantai rumah sakit. Setelah seminggu di rumah sakit, dia baru dijemput relawan C-FOUR.

"Kami sangat bersyukur ternyata masih banyak orang yang peduli terhadap penderitaan orang lain," ujar Edek.

Selama tinggal di rumah singgah, kata Edek, anaknya lebih ceria meski penyakitnya belum sembuh total. Laini kini banyak teman. Banyak mahasiswa yang berkunjung untuk memberikan semangat kepada mereka.

Bertepatan dengan Hari Kanker Sedunia pada 4 Februari, Laini dan Amin memiliki harapan cepat pulih agar bisa kembali bersekolah. Semangat dan harapan membuat mereka bisa bertahan. (KOMPAS/Zulkarnaini)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Februari 2017, di halaman 1 dengan judul "Merawat Cita di Rumah Bersama".

  

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com