KOMPAS.com – Sunat atau dalam bahasa medis disebut sirkumsisi umumnya dilakukan kepada kaum pria.
Pada pria, tindakan ini dijalankan dengan cara membuang sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari glans penis.
Namun, ada sejumlah kelompok masyarakat melakukan tindakan sunat terhadap bayi perempuan sebagai tuntunan budaya atau agama.
Menurut penjelasan dr. Ireska T. Afifa dalam artikelnya yang terbit di laman resmi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dari segi medis, sebenarnya tidak ada rekomendasi rutin untuk melakukan tindakan sunat terhadap bayi bayi perempuan.
Dia menerangkan tindakan sunat pada bayi perempuan biasanya dilakukan dengan memotong atau sedikit melukai kulit penutup (prepusium) klitoris.
Baca juga: Mitos atau Fakta, Makin Tua Ujung Kulit Penis Makin Alot Disunat?
Sementara tidak semua anak perempuan mempunyai prepusium sehingga sunat tidak perlu dilakukan pada setiap wanita.
Pemerintah juga telah mengeluarkan Permenkes No. 6 tahun 2014 untuk mencabut Permenkes No. 1636/Menkes/PER/XI/2010 mengenai Sunat Perempuan.
Permenkes tersebut menyatakan sunat pada perempuan bukan merupakan tindakan kedokteran karena pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan.
dr. Ireska T. Afifa yang menulis artikel dengan narasumber dr. Rosalina Dewi Roeslani, Sp.A (K), menerangkan sunat pada bayi perempuan juga dilakukan di beberapa negara lain, tertama di Afrika sebagai bentuk kepatuhan terhadap ajaran budaya.
Baca juga: Berhubungan Seks Idealnya Berapa Kali dalam Seminggu?
Sunat pada bayi perempuan di beberapa negara lain dikerjakan sebagai female genital mutilation (FGM) atau mutilasi genital perempuan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.