Tapi, kenapa juga pada waktu itu jika hasil rapid test negatif bisa langsung dinyatakan aman? Menurut dia, sebenarnya tidaklah demikian.
Pedoman waktu itu, jelas dr. Tonang, bila tes antibodi tidak reaktif, itu tidak berarti pasti PCR-nya negatif. Maka sebenarnya, seseorang tetap diminta melakukan isolasi 10-14 hari, kemudian diulang tes antibodi lagi. Bila tetap non-reaktif, baru orang itu bisa dinyatakan bukan Covid-19.
“Dalam perkembangannya, ternyata tes antibodi dilakukan juga pada yang tidak ada gejala atau tidak memenuhi kriteria ODP atau PDP. Terjadilah salah kaprah. Begitu ada yang reaktif, langsung dianggap positif, kemudian jadi ramai. Begitu hasilnya non reaktif, langsung merasa aman,” pendapat dia.
Bahkan, dr. Tonang merasa, pemerintah pun tidak luput dari salah kaprah. Diberlakukan syarat perjalanan, yakni harus PCR atau rapid. Di mana, apabila sudah dinyatakan negatif atau non-reaktif, masyarakat baru diperbolehan melakukan perjalanan.
"Jadilah makin salah kaprah. Untuk dapat terbang, dicari-cari oleh orang-orang agar tetap negatif atau non reaktif," prihatin dia.
dr. Tonang bahkan pernah mendapati, beberapa kali terjadi, ada orang yang sebenarnya memiliki hasil PCR positif, sengaja tes antibodi dan ternyata masih non-reaktif. Jadilah orang tersebut boleh terbang. Begitu juga sebaliknya, ada orang yang hasil tes antibodi reaktif, terpaksa PCR dan hasilnya negatif, kemudian bisa terbang.
Baca juga: Jaminan Akuntabel dan Transparan Proses Verifikasi Klaim Covid-19
Lantas, kenapa hasilnya bisa berbeda seperti itu? Padahal jika tes antibodi seharusnya tidak akan berubah hasilnya hanya dalam 1-2 hari.
"Itulah, ada satu episode, bahkan merek alat rapid test sekarang tersedia 100 lebih. Semua mendapatkan rekomendasi dari lembaga yang diberi kewenangan saat itu. Entah bagaimana memastikan baku mutunya. Baru tanggal 16 Juli 2020, rekomendasi itu semua dicabut, dan dikembalikan ke alur normal. Tapi, siapa yang bisa memastikan di lapangan?" tanggap dia.
dr. Tonang menilai, sampai sekarang salah kaprah ini masih berlanjut. Di mana, orang menggunakan tes antibodi sebagai tes untuk menemukan orang yang berpotensi menularkan virus corona. Bahkan, lembaga pemerintah pun melakukan yang sama.
Padahal hasil tes antibodi, sekali lagi, tidak tepat untuk menilai risiko penularan. Untuk menilai risiko penularan, seharusnya menggunakan PCR, atau minimal tes antigen.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.