Menurut dia, hal ini sudah disadari oleh segenap OPD di lingkungan Pemkot Solo, sehingga isu stunting telah menjadi perhatian bersama.
“Yang 80 persen ini bersifat sensitif atau justru di luar kesehatan. Inilah yang harus dipahami bersama-sama,” kata Ida.
Sebagai contoh, beberapa OPD lain telah maksimal mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan program peningkatan kemampun pendapatan warga atau orang tua kurang mampu.
Ida mengatakan, program seperti ini penting karena kasus anak stunting di Solo kebanyakan datang dari keluarga miskin.
DKK mungkin bisa saja memberikan makanan tambahan kepada anak-anak dari keluarga miskin guna mendukung asupan gizi keluarga. Tapi, DKK rasanya kesulitan jika harus melakukan PMT terus-menerus seumur hidup anak.
“Apakah bisa seumur hidup anak ini akan mengandalkan PMT? Kan enggak. Jadi keluarga diharapkan bisa berdaya,” kata Ida.
Dia mencontohkan beberapa program lain di luar DKK yang sangat berperan dalam keberhasilan penanganan stunting di Solo, seperti ketahanan pangan keluarga oleh DispertanKPP, pusat pembelajaran anak dan keluarga (Puspaga) dari DP3APM, promosi KB oleh DPPKB, hingga penyediaan air bersih dan sanitasi yang baik oleh DPU, DisperumKPP, maupun Perumda Air Minum (PDAM) Toya Wening.
“Pada 2019, Kota Solo sendiri sudah declare untuk bebas BABS (buang air besar sembarangan), karena kondisi sanitasi lingkugan juga mendukung pencegahan stunting,” jelas Ida.
Baca juga: 5 Cara Mencegah Stunting pada Anak
Kepala Dinas Pengendalian Pendudukan dan Keluarga Berencana (DPPKB) Solo, Purwanti, menyadari penanganan stunting memang tidak bisa dilakukan hanya dari sektor kesehatan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.