KOMPAS.com – Penyakit lupus masih sering disalahpahami sebagai kondisi yang hanya menyerang kulit atau sendi.
Padahal, menurut dr. Fenda Adita, SpPD, FINASIM, lupus merupakan penyakit autoimun sistemik yang dapat menyerang berbagai organ tubuh, mulai dari kulit, sendi, hingga ginjal, paru-paru, dan otak.
“Lupus bukan penyakit menular, tetapi penyakit autoimun yang muncul ketika sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan tubuh sendiri,” ujarnya dalam siaran langsung Instagram Kementerian Kesehatan RI, Rabu (8/5/2025).
Kondisi ini bisa berlangsung dalam jangka panjang dan gejalanya pun bervariasi, tergantung organ mana yang terkena.
Baca juga: Waspadai Lupus, Penyakit “Seribu Wajah” yang Kerap Tak Disadari
Lupus adalah penyakit autoimun yang kompleks dan sering sulit dikenali karena gejalanya bisa menyerupai penyakit lain.
Salah satu jenis yang paling umum adalah Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu bentuk lupus yang dapat memengaruhi berbagai bagian tubuh secara bersamaan.
“Lupus itu hanya satu jenis, yakni SLE. Tapi manifestasinya bisa ke mana-mana, ke kulit, darah, ginjal, paru, hingga otak. Karena itu banyak yang mengira jenisnya berbeda-beda,” kata Fenda.
Penyebab lupus belum sepenuhnya dipahami, tetapi sejumlah faktor risiko telah diidentifikasi, antara lain:
Gejala lupus juga sangat bervariasi.
Beberapa gejala umum meliputi nyeri dan kaku sendi, ruam merah di wajah (dikenal sebagai butterfly rash), kelelahan ekstrem, serta pembengkakan di kaki akibat gangguan ginjal.
Baca juga: 4 Faktor Penyebab Lupus yang Harus Diketahui: Ada Genetik dan Lingkungan
Mendiagnosis lupus tidak mudah karena tidak ada satu pun tes tunggal yang bisa menegakkan diagnosis secara langsung.
Oleh karena itu, dokter akan mengacu pada kriteria diagnostik dari asosiasi reumatologi yang terus diperbarui dari waktu ke waktu.
“Dokter akan menilai dulu organ mana yang terkena, kemudian melakukan pemeriksaan laboratorium, terutama yang berkaitan dengan sistem imun, seperti ANA (antinuclear antibody), anti-dsDNA, dan antibodi lainnya,” jelas Fenda.
Selain pemeriksaan darah, tes urine juga dilakukan untuk melihat ada tidaknya kebocoran protein di ginjal. Jika diperlukan, biopsi ginjal dapat membantu menegakkan diagnosis.
Untuk kasus keterlibatan paru dan jantung, dokter akan memeriksa apakah ada cairan di rongga tersebut (efusi pleura atau perikardium).