Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yang Terjadi pada Tubuh Saat Digigit Ular Berbisa

Kompas.com - 11/05/2025, 19:00 WIB
Lusia Kus Anna

Editor

Sumber Nature

KOMPAS.com - Gigitan ular membunuh lebih dari 100.000 orang setiap tahun dan menyebabkan ratusan ribu lainnya mengalami cacat permanen. Namun, meski dampaknya begitu besar, gigitan ular masih sering dianggap sebagai penyakit yang terabaikan dalam agenda kesehatan global.

Pada tahun 2017, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi mengklasifikasikan gigitan ular sebagai penyakit tropis terabaikan (neglected tropical disease/NDT) dengan prioritas tertinggi. WHO pun menetapkan target ambisius: mengurangi angka kematian dan kecacatan akibat gigitan ular hingga 50 persen pada tahun 2030.

Salah satu tantangan utama dalam menangani masalah ini adalah kurangnya akses terhadap penanganan yang efektif, seperti anti-bisa (antivenom). Banyak komunitas yang paling terdampak tinggal jauh dari fasilitas medis, dan ketersediaan serta harga anti-bisa masih menjadi hambatan besar.

Baca juga: Digigit Ular Berbisa 200 Kali, Tim Friede Jadi Harapan Antivenom Universal

Reaksi tubuh saat digigit ular

Dari sisi medis, bisa ular bekerja dengan cara yang sangat merusak. Dua kelompok utama ular berbisa adalah viper dan elapid, dan keduanya memiliki efek yang berbeda terhadap tubuh manusia.

Ular berbisa dari kelompok viper, seperti ular derik atau adder, menghasilkan bisa yang bersifat hemotoksik, menyerang sistem peredaran darah. Efeknya bisa menyebabkan pendarahan internal, pembengkakan parah, hingga kegagalan organ.

Sementara itu, ular elapid, yang termasuk kobra dan ular laut, menghasilkan bisa neurotoksik yang menyerang sistem saraf, menyebabkan kelumpuhan, gangguan pernapasan, bahkan kematian dalam hitungan jam jika tidak segera ditangani.

Ilustrasi ular masuk rumah iStock/pumpump Ilustrasi ular masuk rumah

Efek racun ular tidak terbatas pada neurotoksisitas (yang menyerang sistem saraf) dan hemotoksisitas (yang merusak sistem peredaran darah). Bahkan, kedua efek ini sering kali tidak berdiri sendiri dan bisa muncul bersamaan dalam satu jenis bisa.

Baca juga: Benarkah Bisa Ular Hijau Ekor Merah Lebih Mematikan dari Kobra?

Contohnya, taipan, ular mematikan dari genus Oxyuranus yang ditemukan di Australia, memiliki bisa yang sangat neurotoksik, mampu melumpuhkan sistem saraf dengan cepat. Namun, racunnya juga memiliki efek hemotoksik, mempercepat pembekuan darah secara ekstrem dan berisiko menyebabkan komplikasi serius.

Sementara itu, ular derik (rattlesnake), yang dikenal karena menyebabkan pendarahan hebat, juga menghasilkan bisa sitotoksik—yang merusak jaringan tubuh. Efek ini bisa menyebabkan luka parah, pembengkakan besar, hingga nekrosis (kematian jaringan).

Beberapa spesies ular derik bahkan memiliki komponen racun yang bersifat neurotoksik, memperlihatkan betapa kompleks dan berbahayanya campuran racun yang dimiliki ular berbisa.

Baca juga: Pertolongan Pertama Saat Digigit Ular Berbisa yang Perlu Diketahui

Bagaimana cara kerja antiracun?

Pemberian antiracun sangat penting bagi kelangsungan hidup korban gigitan ular berbisa. Oleh karena itu membawa korban ke fasilitas medis secepatnya sangat penting.

Antiracun mengikat komponen racun dan menghalanginya, sehingga tidak dapat mencapai sasarannya. Antiracun tidak membalikkan efek racun, tetapi mencegah kerusakan lebih lanjut dengan menyaring racun yang tidak digunakan.

Jika ada jeda waktu yang cukup lama sebelum antiracun diberikan, kerusakan yang terjadi selama waktu tersebut akan memerlukan perawatan tambahan.

Dua jenis antibisa: monovalen dan polivalen

Salah satu tantangan utama dalam menangani gigitan ular adalah pemilihan antibisa yang tepat.

Antibisa monovalen diformulasikan untuk melawan bisa dari satu spesies ular saja. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada kepastian identitas ular yang menggigit. Ini menjadi masalah besar karena bahkan ular yang berkerabat dekat bisa memiliki komposisi bisa yang sangat berbeda. Bahkan dalam satu spesies pun, seperti kobra berlensa tunggal (Naja kaouthia), variasi racun bisa terjadi tergantung pada wilayah geografisnya.

Baca juga: 5 Cara Cegah Ular Kobra Masuk Rumah Menurut Pakar Rescue

"Jika seseorang datang ke rumah sakit dan berkata, 'ular kecil berwarna cokelat menggigit saya', itu tidak terlalu spesifik. Jika hanya tersedia antibisa monovalen, penggunaannya bisa seperti bermain rolet Rusia," jelas Dr. Ronald Jenner, pakar racun ular.

Sebagai alternatif, digunakan antibisa polivalen, yang dirancang untuk menangani bisa dari beberapa spesies ular sekaligus.

Namun, karena antibodi di dalamnya harus mencakup banyak jenis racun, efektivitas terhadap masing-masing spesies bisa berkurang. Akibatnya, diperlukan lebih banyak dosis, yang bukan hanya meningkatkan biaya, tetapi juga meningkatkan risiko efek samping bagi pasien.

Struktur kimia bisa ular sangat kompleks dan bervariasi, itulah sebabnya hingga kini belum ada antibisa universal yang efektif untuk semua jenis gigitan berbisa.

Selain itu, proses pembuatan antibisa sangat mahal dan rumit. Umumnya, racun disuntikkan ke hewan besar seperti kuda untuk merangsang produksi antibodi, yang kemudian diambil dan dimurnikan menjadi antibisa.

Namun karena antibodi ini berasal dari hewan, reaksi penolakan tubuh atau efek samping seperti alergi atau syok anafilaksis juga menjadi risiko nyata—terutama di daerah yang fasilitas kesehatannya terbatas.

Baca juga: Kemenkes Peringatkan Masyarakat Gigitan Ular Laut Kaltim yang Mematikan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya
Dari Sunjay Kapur Meninggal, Ketahui Bahaya Tersengat Lebah
Dari Sunjay Kapur Meninggal, Ketahui Bahaya Tersengat Lebah
Health
Remaja 19 Tahun Alami Alzheimer, Kenali Gejalanya Sejak Dini
Remaja 19 Tahun Alami Alzheimer, Kenali Gejalanya Sejak Dini
Health
Virus Hanta yang Ditemukan di Indonesia Bahaya atau Tidak? Ini Penjelasannya…
Virus Hanta yang Ditemukan di Indonesia Bahaya atau Tidak? Ini Penjelasannya…
Health
Virus Hanta Bisa Menyebar dari Makanan dan Rumah Kotor, Ini Cara Menghindarinya
Virus Hanta Bisa Menyebar dari Makanan dan Rumah Kotor, Ini Cara Menghindarinya
Health
Jangan Anggap Sepele, Ini Gejala Infeksi Virus Hanta yang Dapat Menyerang Tubuh
Jangan Anggap Sepele, Ini Gejala Infeksi Virus Hanta yang Dapat Menyerang Tubuh
Health
Alat Tes Deteksi Dini Kanker Asal Jepang Tunjukkan Hasil Menjanjikan
Alat Tes Deteksi Dini Kanker Asal Jepang Tunjukkan Hasil Menjanjikan
Health
Pengapuran Lutut Apakah Harus Operasi? Ini Penjelasan Dokter...
Pengapuran Lutut Apakah Harus Operasi? Ini Penjelasan Dokter...
Health
Dari Sunjay Kapur Meninggal, Apa Tertelan Lebah Bisa Sebabkan Serangan Jantung?
Dari Sunjay Kapur Meninggal, Apa Tertelan Lebah Bisa Sebabkan Serangan Jantung?
Health
Waspada Virus Hanta, Kemenkes Laporkan 8 Kasus di Indonesia
Waspada Virus Hanta, Kemenkes Laporkan 8 Kasus di Indonesia
Health
Miliuner India Sunjay Kapur Meninggal Usai Diduga Menelan Lebah
Miliuner India Sunjay Kapur Meninggal Usai Diduga Menelan Lebah
Health
Demam Mulai Turun Bukan Berarti Sembuh, Justru Fase Paling Mematikan DBD Bisa Dimulai
Demam Mulai Turun Bukan Berarti Sembuh, Justru Fase Paling Mematikan DBD Bisa Dimulai
Health
Demam Biasa Bisa Sembuh, Tapi Demam Berdarah Bisa Berujung Maut Bila Tak Ditangani
Demam Biasa Bisa Sembuh, Tapi Demam Berdarah Bisa Berujung Maut Bila Tak Ditangani
Health
Remaja 19 Tahun Diduga Alami Alzheimer, Kasus Termuda yang Pernah Dilaporkan
Remaja 19 Tahun Diduga Alami Alzheimer, Kasus Termuda yang Pernah Dilaporkan
Health
Alami Stevens Johnson Syndrome, Apakah Bahaya?
Alami Stevens Johnson Syndrome, Apakah Bahaya?
Health
Sakit Kulit Jokowi Dituding Stevens Johnson Syndrome, Kenali Ruam Khas Penyakit Ini…
Sakit Kulit Jokowi Dituding Stevens Johnson Syndrome, Kenali Ruam Khas Penyakit Ini…
Health
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau