KOMPAS.om - Kepatuhan berobat bagi pasien gangguan bipolar dan skizofrenia menjadi hal yang krusial.
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa FKUI-RSCM Dr. dr. Khamelia Malik, SpKJ(K) mengatakan bahwa hal itu menentukan keberlangsungan dan kualitas hidup pengidapnya.
“Di Indonesia, ketidakpatuhan terhadap pengobatan merupakan hal yang umum terjadi pada GB dan skizofrenia,” ujar Khamelia seperti yang dikutip dari Antara pada Rabu (15/5/2025).
Baca juga: Apa Penyebab Anak Bisa Mengalami Skizofrenia? Ini Ulasannya...
Padahal, dikatakannya bahwa ketidakpatuhan minum obat bisa meningkatkan risiko hasil klinis yang buruk.
“Hal ini merupakan masalah terbesar yang perlu diatasi bidang kejiwaan dan penyakit-penyakit kronis lainnya,” ujarnya.
Ia menyebutkan, ketidakpatuhan terhadap pengobatan dua penyakit mental kronis ini akan memunculkan konsekuensi yang sangat besar khususnya bagi orang dewasa.
Pada gangguan bipolar, ia menjelaskan, ketidakpatuhan minum obat dikaitkan dengan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi, peningkatan rawat inap, hingga risiko bunuh diri yang lebih besar.
Jika skizofrenia, ketidakpatuhan minum obat tidak hanya memperburuk gejala psikotik, tetapi juga meningkatkan risiko menyakiti diri sendiri dan orang lain.
“Temuan ini menyoroti pentingnya kepatuhan terhadap pengobatan untuk mencegah penyakit penyerta dan meningkatkan kualitas hidup bagi individu,” ucapnya.
Baca juga: Tanda-tanda Skizofrenia pada Anak-anak yang Langka, tapi Serius
Menurut Khamelia, pasien dewasa dengan gangguan bipolar dan skizofrenia tetap mampu melakukan kegiatan yang produktif serta memiliki kualitas hidup yang baik asalkan mau menjalankan pengobatan dengan konsisten.
Optimal dalam kepatuhan terapi dikaitkan secara signifikan dengan kualitas hidup yang lebih tinggi.
Ia mengatakan bahwa mereka kurang patuh biasanya karena kesadaran dan pemahaman yang buruk terhadap keadaan sakitnya.
Kemudian, munculnya efek samping, fluktuasi mood, dan stigma buruk di masyarakat.
“Terkadang mereka mengalami efek seperti mengantuk berat sedasi, kenaikan berat badan, dan masalah gerakan tubuh, sehingga mereka sulit untuk patuh,“ ungkapnya.
“Padahal, saat ini ada obat-obat inovatif yang meminimalkan efek samping seperti itu,” imbuhnya.
Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa selain kepatuhan minum obat sesuai anjuran dokter, pasien yang fokus pada strategi coping adaptif akan bisa tetap beraktivitas produktif.
Strategi coping adaptif yang dimaksud adalah seperti mencari dukungan, belajar memecahkan masalah, hingga pelatihan manajemen stres.
Baca juga: Apakah Anak-anak Bisa Mengalami Skizofrenia? Ini Ulasannya...
Lebih lanjut, ia menganjurkan pasien gangguan bipolar dan skizofrenia untuk aktif melakukan terapi psikososial, seperti edukasi terhadap penyakit, skrining rutin terhadap kemunculan ide untuk bunuh diri.
Saat ini, dikatakannya ada teknologi yang bisa membantu memantau mood, kualitas tidur, pengingat konsumsi obat, dan psikoterapi.
Dengan begitu, seorang pasien gangguan bipolar dan skizofrenia akan bisa menjalani aktivitas dengan lebih baik.
Yang tidak kalah penting juga, ia mengatakan bahwa orang-orang dengan gangguan mental itu membutuhkan dukungan keluarga dan lingkungan, yang bisa dikaitkan dengan keberhasilan pengobatan pasien.
“Psikoedukasi pada keluarga dan lingkungan dapat membantu keluarga memahami dan mendukung orang yang mereka cintai dengan lebih baik,” ujarnya.
“Dukungan ini berfungsi untuk meningkatkan harapan dan mendukung kemampuan pasien, pemberdayaan pribadi, dan inklusi di lingkungan sosial,” pungkasnya.
Baca juga: Kapan Gejala Skizofrenia Bisa Muncul pada Seseorang? Ini Ulasannya...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.