PERNYATAAN dari pejabat tinggi bidang kesehatan baru-baru ini menyebut bahwa pria dengan ukuran celana jeans di atas 33 “lebih cepat mati”.
Ucapan tersebut segera menyulut beragam reaksi di ruang publik, dari humor dan satir, hingga kegelisahan dan kemarahan yang tidak selalu diucapkan.
Di balik keramaian itu, satu pertanyaan penting perlu diajukan secara jernih, apakah cara kita menyampaikan risiko kesehatan hari ini masih sejalan dengan standar etik dan akurasi ilmiah yang kita perjuangkan dalam profesi medis?
Dalam dunia kedokteran, ada satu prinsip yang tak bisa dinegosiasikan, penyederhanaan boleh dilakukan untuk edukasi, tapi tidak untuk menyesatkan.
Secara medis, lingkar pinggang adalah indikator yang digunakan untuk mendeteksi obesitas sentral, yakni penumpukan lemak di rongga perut yang membungkus organ-organ vital.
Baca juga: Dokter Umum dan Operasi Caesar: Ruang untuk Refleksi, Bukan Reaksi
Lemak jenis ini, dikenal sebagai lemak visceral, diketahui melepaskan sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan IL-6 yang meningkatkan risiko resistensi insulin, aterosklerosis, dan inflamasi kronis.
WHO dan IDF menyarankan batas aman lingkar pinggang <90 cm untuk pria dan <80 cm untuk wanita di populasi Asia.
Namun, ukuran celana jeans bukan alat ukur medis. Tidak ada standardisasi global untuk ukuran celana.
Perbedaan antarprodusen dan gaya potong (cutting) membuat angka “33” tidak relevan secara klinis.
Dalam pengukuran antropometri, kita menggunakan pita meter, bukan label pakaian. Dengan kata lain, mengaitkan satuan nonmedis (seperti ukuran jeans) secara langsung dengan angka harapan hidup bukan hanya keliru, tetapi juga rawan disalahpahami oleh publik.
Dalam komunikasi risiko, terutama di bidang kesehatan, berbagai teori menunjukkan bahwa cara menyampaikan informasi memiliki dampak langsung terhadap efektivitas perubahan perilaku. Dua teori yang banyak digunakan adalah:
Pertama, Health Belief Model (HBM) yang menekankan bahwa perubahan perilaku terjadi jika individu merasa persepsi risikonya cukup tinggi, tapi efikasi tindakannya juga jelas.
Pesan yang menakut-nakuti tanpa menawarkan solusi hanya akan menimbulkan kecemasan, bukan perbaikan gaya hidup.
Kedua, Theory of Planned Behavior (TPB) menyatakan bahwa niat untuk berubah dipengaruhi oleh sikap, norma sosial, dan kontrol perilaku yang dirasakan.
Jika pesan kesehatan merendahkan martabat atau membuat individu merasa dipermalukan karena tubuhnya, maka niat untuk berubah bisa justru melemah.
Baca juga: MBG, Anak-anak, dan Kontrak Sosial yang Rapuh
Penelitian menunjukkan bahwa pesan yang mengandalkan humor atau simplifikasi berlebihan jika tidak dibarengi dengan konteks yang benar dapat menjadi bumerang.
Alih-alih mendorong perubahan, ini malah menimbulkan resistensi atau bahkan penolakan terhadap institusi kesehatan itu sendiri.
Kita hidup dalam era di mana otoritas publik tidak lagi cukup hanya berdasarkan jabatan, tetapi juga pada kepercayaan yang dibangun lewat komunikasi yang etis dan berempati.
Dalam dokumen WMA Medical Ethics Manual, disebutkan bahwa semua dokter, termasuk yang menjabat di pemerintahan, berkewajiban menjaga martabat individu dan menghindari penyampaian informasi yang bersifat diskriminatif, menyudutkan, atau merendahkan harkat seseorang berdasarkan kondisi tubuhnya.
Menjadikan ukuran tubuh sebagai bahan humor dalam narasi publik, apalagi dari lembaga negara, berisiko menciptakan body shaming terselubung, memperkuat stigma terhadap orang dengan obesitas, dan memperburuk relasi antara institusi kesehatan dan masyarakat.
Seorang pejabat di bidang kesehatan bukan hanya komunikator. Ia adalah simbol kepercayaan publik, sekaligus kanal utama informasi ilmiah. Maka setiap ucapannya bukan sekadar opini, tetapi sinyal kebijakan, alat edukasi, dan tolok ukur standar profesional.
Tantangan kesehatan masyarakat Indonesia tidak sederhana. Epidemi penyakit tidak menular terus meningkat, ditambah rendahnya literasi gizi, minimnya ruang aktivitas fisik, dan konsumsi makanan ultraprocessed yang melonjak.
Baca juga: Ketika Ruang Pemeriksaan Pasien Tak Lagi Aman
Dalam situasi seperti ini, strategi komunikasi kesehatan yang baik seharusnya berlapis, lintas media, dan berbasis data, bukan hanya sekadar “ucapan yang viral.”
Masyarakat berhak tahu bahwa obesitas adalah isu serius. Namun, mereka juga berhak mendapatkan narasi yang mendidik tanpa menyudutkan, membangun tanpa mempermalukan, dan akurat tanpa menakut-nakuti.
Mengutip prinsip etika Hippocrates: primum non nocere, yang pertama, jangan menyakiti.
Dalam dunia kesehatan, bahkan kata-kata pun bisa menyakiti. Dan jika tidak berhati-hati, bisa jadi yang “lebih cepat mati” bukan hanya angka harapan hidup, tapi juga kepercayaan publik pada ilmu kedokteran itu sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.