KITA memperingati 20 Mei bukan hanya sebagai tanggal simbolis, tetapi sebagai tonggak ketika sekelompok pelajar kedokteran di STOVIA memilih berpikir untuk bangsanya.
Boedi Oetomo lahir dari ruang pendidikan, bukan ruang sidang kabinet. Dari idealisme medis, bukan kekuasaan politik. Dari semangat mencerdaskan, bukan sekadar menyembuhkan.
Hari ini, lebih dari satu abad kemudian, bangsa ini belum benar-benar bangkit, setidaknya dalam bidang kesehatan.
Kita menyebut diri sedang melakukan transformasi sistem, tapi abai pada substansi paling dasar: keadilan dalam akses, mutu dalam pendidikan, dan penghormatan terhadap profesi.
Setiap tahun, ribuan dokter baru lulus dari kampus-kampus kedokteran di Indonesia. Namun distribusinya tetap timpang.
Ada kabupaten dengan satu dokter umum untuk ribuan warga. Ada rumah sakit yang menggantungkan harapan pada spesialis yang datang seminggu sekali.
Baca juga: Dokter Umum dan Operasi Caesar: Ruang untuk Refleksi, Bukan Reaksi
Bahkan ada puskesmas yang tutup bukan karena tak ada pasien, tapi karena tidak ada siapa pun yang bisa melayani.
Masalah kita bukan kekurangan orang pintar. Masalah kita adalah negara yang tidak membuat mereka bertahan, dan tidak menjamin mereka tumbuh dalam sistem yang adil.
Mereka yang bersedia ke daerah terpencil seringkali kembali dalam diam, bukan karena menyerah, tapi karena sistem tidak mengizinkan mereka bertahan.
Di negara-negara yang lebih mapan, distribusi dokter menjadi agenda negara secara sistemik dan insentif disusun berbasis keadilan wilayah.
Namun di sini, negara hadir sekadar sebagai panitia rekrutmen, lalu menyerahkan pengabdian pada pasar moral: siapa kuat, dia bertahan.
Padahal di balik setiap dokter yang pulang, ada kegagalan negara untuk menepati janji konstitusionalnya.
Saat ini, tengah berlangsung perubahan besar-besaran dalam pendidikan kedokteran Indonesia. Kementerian Kesehatan membentuk Kolegium Kesehatan Indonesia, menggeser kewenangan kolegium lama ke bawah struktur birokrasi eksekutif.
Sekilas tampak seperti langkah reformasi. Namun, substansinya membangkitkan kegelisahan kolektif para akademisi.
Protes terbuka dari para guru besar Fakultas Kedokteran, demonstrasi mahasiswa, dan kegaduhan akademik nasional bukan bentuk resistensi terhadap perubahan, melainkan upaya terakhir untuk menjaga standar.
Sebab jika pendidikan dokter dikendalikan oleh pendekatan administratif, bukan akademik, maka yang dilahirkan bukan tenaga profesional, melainkan produk birokrasi.
Mengapa ini berbahaya? Karena dokter bukan sekadar lulus, dokter dibentuk. Dan dalam formasi itu, mutu, etika, dan kemandirian profesi adalah tiang utamanya.
Baca juga: Antara Data dan Diksi: Saat Komunikasi Kesehatan Kehilangan Akurasi
Jika semua itu dikompromikan atas nama kecepatan produksi, maka kita sedang menyiapkan krisis yang lebih besar, yaitu keruntuhan kepercayaan publik terhadap profesi penyelamat nyawa.
Pendidikan kedokteran bukan semata urusan teknis birokrasi, melainkan amanat konstitusi, “mencerdaskan kehidupan bangsa” (UUD 1945 Pasal 31). Saat ia ditundukkan oleh agenda produksi, maka negara gagal menunaikan janjinya.
Di saat dunia berbicara tentang kesehatan mental, integrasi layanan berbasis komunitas, dan pendekatan humanistik dalam praktik kedokteran, kita masih berkutat dengan rujukan yang berbelit, diskriminasi terhadap pasien kurang mampu, dan sistem yang memberi penghargaan pada volume, bukan nilai.
Kita menyebut transformasi digital, tapi di pelosok masih ada ibu hamil yang meninggal karena rujukan terlambat.
Kita bicara reformasi, tapi lupa bahwa dokter adalah manusia yang perlu sistem pendukung, bukan sekadar target statistik. Kita sebut pelayanan terpadu, tapi tenaga kesehatan kontrak masih menanti pengangkatan bertahun-tahun.
Ketika negara berbicara efisiensi, yang hilang justru empati. Ketika indikatornya adalah angka, yang dilupakan adalah manusia.
Di tengah pergeseran paradigma global menuju pelayanan berbasis martabat, Indonesia masih terpaku pada logika layanan sebagai produk. Ini bukan hanya soal sistem yang salah arah, tetapi soal negara yang kehilangan keberpihakan.
Lalu, kebangkitan ini untuk siapa?
Boedi Oetomo berdiri atas dasar kesadaran bahwa bangsa ini tak bisa diselamatkan oleh kekuasaan, tapi oleh ilmu yang berpihak.
Hari ini, kita seperti lupa bahwa pendidikan kedokteran bukan urusan kementerian semata, tapi urusan konstitusi martabat bangsa.
Baca juga: MBG, Anak-anak, dan Kontrak Sosial yang Rapuh
Ketika guru besar dipaksa diam, mahasiswa hanya dianggap beban politik, dan distribusi dokter diserahkan pada "pasar moral", maka kita tidak sedang bangkit. Kita sedang mundur secara terstruktur.
Bangkit berarti menjadikan pengetahuan sebagai alat merdeka, bukan alat produksi. Bangkit berarti menghormati proses pendidikan sebagai benteng terakhir integritas. Dan bangkit berarti menolak kompromi ketika yang dipertaruhkan adalah nyawa rakyat.
Kebangkitan hari ini bukan mengenang sejarah, tapi menepati janji mereka yang sudah lebih dulu berani. Dokter bukan sekadar profesi. Ia adalah amanah sejarah yang dimulai dari perlawanan terhadap ketidakadilan.
Dan karena itu, menjadi dokter hari ini berarti bersuara. Menolak lupa. Menjaga mutu. Mengoreksi arah. Dan memaksa negara untuk tidak bermain-main dengan kesehatan bangsanya sendiri.
Bangkit, dalam makna yang paling jujur, adalah berani mengatakan tidak ketika rakyat dibiarkan sakit, sistem dibiarkan rusak, dan pendidikan dibiarkan runtuh. Sebab dalam sejarah kebangkitan sejati, yang pertama bangkit bukanlah institusi, tapi nurani.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.