KOMPAS.com – Tim peneliti dari National Cancer Institute, Amerika Serikat, berhasil mengembangkan metode baru untuk mengukur konsumsi makanan ultra-proses (ultra-processed food/UPF) dengan menggunakan skor metabolit dalam darah dan urine.
Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal ilmiah PLOS Medicine edisi Mei 2025 dan disebut dapat merevolusi studi nutrisi dan kesehatan masyarakat.
Baca juga: Diet DASH Disarankan Dokter untuk Lawan Hipertensi Tanpa Obat Berlebih
Makanan ultra-proses merupakan produk industri yang telah melalui berbagai tahap pengolahan, sering kali mengandung bahan tambahan seperti perisa buatan, pewarna, dan pemanis.
Contohnya termasuk makanan ringan kemasan, minuman ringan, dan makanan beku siap saji.
Selama ini, konsumsi UPF banyak diukur berdasarkan pelaporan mandiri melalui kuesioner diet, yang dinilai kurang akurat karena tergantung pada ingatan dan kesadaran responden.
Baca juga: Puasa 16 Jam Selama 3 Bulan Efektif Turunkan Berat Badan Hingga Setahun Kemudian
Dalam studi terbaru ini, para peneliti memanfaatkan teknologi metabolomik canggih untuk mengukur lebih dari 1.000 metabolit dalam sampel darah dan urine dari 718 peserta studi IDATA (Interactive Diet and Activity Tracking in AARP), yang berusia antara 50 hingga 74 tahun.
Dengan menggunakan metode statistik Least Absolute Shrinkage and Selection Operator (LASSO), peneliti mengidentifikasi skor metabolit—gabungan biomarker dalam darah dan urine—yang berkorelasi kuat dengan tingkat konsumsi UPF.
“Dengan pendekatan ini, kami bisa mengetahui berapa banyak seseorang mengonsumsi makanan ultra-proses berdasarkan hasil laboratorium, tanpa perlu bergantung pada data yang dilaporkan sendiri,” ujar Dr. Erikka Loftfield, peneliti utama.
Skor metabolit tersebut diuji kembali dalam uji coba silang (crossover-feeding trial) yang melibatkan 20 orang dewasa sehat.
Peserta mengonsumsi diet dengan 80 persen energi dari UPF selama dua minggu, lalu beralih ke diet tanpa UPF.
Hasilnya, skor metabolit secara konsisten membedakan kedua pola makan tersebut dalam individu yang sama, menunjukkan potensi besar sebagai indikator objektif konsumsi UPF.
Baca juga: Makanan Berlemak Picu IBD, Dokter Sarankan Perbaiki Pola Makan
Beberapa metabolit yang diidentifikasi memiliki kaitan dengan kondisi kesehatan serius.
Misalnya, N6-carboxymethyllysine, yang meningkat pada konsumsi UPF tinggi, sebelumnya dikaitkan dengan risiko diabetes tipe 2 dan penyakit jantung.
Di sisi lain, metabolit yang identik dengan konsumsi buah dan sayur, seperti β-cryptoxanthin, ditemukan lebih rendah pada mereka yang banyak mengonsumsi UPF.
“Temuan ini memperkuat hubungan antara makanan ultra-proses dan penurunan kualitas pola makan serta peningkatan risiko penyakit kronis,” kata Loftfield.
Baca juga: Makanan Sehat untuk Penderita Hipertensi, Simak Panduan dari Dokter
Meski menjanjikan, studi ini memiliki keterbatasan, termasuk populasi yang homogen dan berusia lanjut.
Peneliti menyarankan agar skor metabolit ini diuji ulang di kelompok usia dan etnis yang lebih beragam.
“Ini adalah langkah awal yang penting untuk mengembangkan biomarker diet yang dapat diandalkan. Ke depan, skor ini bisa menjadi alat bantu untuk memperbaiki akurasi data diet dalam riset epidemiologi,” tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.