Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Puspita Wijayanti
Dokter, Aktivis Sosial, Kritikus

Saya adalah seorang dokter dengan latar belakang pendidikan manajemen rumah sakit, serta pernah menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sebelum memutuskan keluar karena menyaksikan langsung dinamika perundungan dan ketidakadilan. Sebagai aktivis sosial dan kritikus, saya berkomitmen untuk mendorong reformasi dalam pendidikan kedokteran dan sistem manajemen rumah sakit di Indonesia. Pengalaman saya dalam manajemen rumah sakit memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya sistem yang berfungsi baik, bukan hanya dalam aspek klinis, tetapi juga dalam melindungi kesejahteraan tenaga kesehatan.

Warna Kulit Bukan Diagnosis Sosial

Kompas.com - 04/06/2025, 13:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI NEGARA negara tropis yang kaya akan keragaman genetik dan cahaya matahari, warna kulit terang masih menjadi standar kecantikan yang dominan.

Bukan karena mutasi genetik atau adaptasi ekologis, tapi karena konstruksi sosial yang diam-diam mengubah warna kulit menjadi indikator status. Seolah semakin terang kulit seseorang, semakin “layak dipandang”, dihargai, bahkan dianggap sukses.

Sebagai praktisi kesehatan, saya sering melihat bagaimana standar kecantikan ini tidak lagi berdiri pada ranah estetika, tetapi telah menyusup ke ranah kesehatan mental dan pilihan gaya hidup.

Pasien muda datang tidak hanya dengan jerawat atau hiperpigmentasi, tapi dengan rasa malu atas kulit mereka sendiri.

Sebagian orang bahkan secara obsesif menggunakan krim pemutih yang tak terdaftar, mengandung hidrokuinon atau merkuri yang secara klinis terbukti merusak ginjal dan sistem saraf.

Ini bukan sekedar masalah kosmetik. Ini epidemi sosial.

Warisan kolonial

Penelitian antropologi telah lama menunjukkan bahwa kolonialisme tidak hanya mewariskan sistem ekonomi yang timpang, tapi juga preferensi estetika yang menjajah cara kita memandang tubuh sendiri.

Baca juga: Vasektomi: Stigma Gender dan Politik Otonomi Tubuh

 

Di banyak negara Asia, termasuk Indonesia, kulit terang diasosiasikan dengan kelas atas, pekerjaan dalam ruangan, dan status sosial.

Sementara kulit sawo matang, atau lebih gelap, dikaitkan dengan kerja lapangan, kemiskinan, dan “tidak terurus.”

Padahal, kalau kita bicara biologi, kulit orang Indonesia sangatlah adaptif. Melanin yang lebih tinggi bukan hanya memberi warna sawo matang yang khas, tapi juga merupakan proteksi alami terhadap paparan ultraviolet yang ekstrem di garis khatulistiwa.

Dalam bahasa medis, ini adalah evolutionary advantage, bukan kekurangan. Mengapa keunggulan biologis ini kita sembunyikan?

Tak bisa dipungkiri, industri kecantikan ikut berperan dalam mengamplifikasi standar ini. Sebagian besar iklan di televisi, media sosial, hingga skin analysis apps secara halus mengasumsikan bahwa cerah adalah lebih baik.

Kulit yang “bersih” bukan diukur dari kesehatannya, tetapi dari warnanya.

Dalam dunia medis, kulit dinilai berdasarkan parameter klinis seperti tingkat hidrasi, elastisitas, dan ada tidaknya kelainan seperti dermatitis, infeksi, atau tanda gangguan sistemik.

Di luar ruang praktik, penilaian kulit kerap bergeser dari aspek kesehatan menjadi soal persepsi visual, semakin jauh dari warna coklat alaminya, semakin dianggap ideal.

Ketika algoritma dan pasar lebih dipercaya daripada dokter atau fisiologi tubuh sendiri, kita sedang menghadapi krisis epistemik.

Menggeser narasi

Saya tumbuh di antara para perempuan hebat yang bekerja di luar ruangan, tenaga kesehatan yang menempuh perjalanan jauh di bawah matahari.

Mereka memiliki kulit yang tidak “putih bersinar”, tapi sehat, kuat, dan menua dengan penuh martabat.

Baca juga: Dokter Umum dan Operasi Caesar: Ruang untuk Refleksi, Bukan Reaksi

 

Mereka adalah wajah asli Indonesia, tahan banting, penuh daya hidup, dan tidak punya waktu untuk mengejar krim pemutih yang menjanjikan hal semu.

Sudah waktunya kita berhenti menyembah pantulan cahaya pada kulit, dan mulai merayakan keberagaman pigmen sebagai cermin karakter, bukan kelas sosial.

Dalam ruang praktik, saya tidak akan pernah merekomendasikan pasien untuk memutihkan kulitnya. Namun, saya akan selalu mendorong mereka untuk merawatnya, membersihkan, melembapkan, melindungi dari sinar UV, dan menghargai tiap lapis warna yang mereka miliki.

Karena sehat itu tidak selalu putih. Dan cantik itu bukan pantulan budaya luar, tapi bagaimana kita merawat diri dengan baik.

Perubahan standar kecantikan tidak akan datang dari serum atau influencer, tapi harus dibangun di ruang dialog yang jujur antara dokter, pasien, media, dan masyarakat.

Kita perlu lebih banyak kampanye yang merayakan warna kulit Indonesia, dari kuning langsat, sawo matang hingga gelap eksotis. Semua indah, selama dirawat dengan sehat dan diterima dengan rasa bangga.

Barangkali semua dimulai dari cara kita bercermin. Bukan untuk mencari kekurangan, tapi untuk mengakui bahwa tubuh ini sudah cukup, bahwa kulit ini, warnanya, teksturnya, dan sejarahnya adalah warisan yang tidak perlu diputihkan.

Memiliki kulit gelap bukanlah suatu kekurangan. Tidak masalah kalau kulit kita tidak masuk standar iklan. 

Paling penting adalah tubuh yang terjaga, kesadaran diri yang utuh, dan keputusan untuk tidak tunduk pada validasi eksternal yang dibentuk oleh narasi industri yang tidak benar-benar berpihak pada perempuan Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya
Dari Sunjay Kapur Meninggal, Ketahui Bahaya Tersengat Lebah
Dari Sunjay Kapur Meninggal, Ketahui Bahaya Tersengat Lebah
Health
Remaja 19 Tahun Alami Alzheimer, Kenali Gejalanya Sejak Dini
Remaja 19 Tahun Alami Alzheimer, Kenali Gejalanya Sejak Dini
Health
Virus Hanta yang Ditemukan di Indonesia Bahaya atau Tidak? Ini Penjelasannya…
Virus Hanta yang Ditemukan di Indonesia Bahaya atau Tidak? Ini Penjelasannya…
Health
Virus Hanta Bisa Menyebar dari Makanan dan Rumah Kotor, Ini Cara Menghindarinya
Virus Hanta Bisa Menyebar dari Makanan dan Rumah Kotor, Ini Cara Menghindarinya
Health
Jangan Anggap Sepele, Ini Gejala Infeksi Virus Hanta yang Dapat Menyerang Tubuh
Jangan Anggap Sepele, Ini Gejala Infeksi Virus Hanta yang Dapat Menyerang Tubuh
Health
Alat Tes Deteksi Dini Kanker Asal Jepang Tunjukkan Hasil Menjanjikan
Alat Tes Deteksi Dini Kanker Asal Jepang Tunjukkan Hasil Menjanjikan
Health
Pengapuran Lutut Apakah Harus Operasi? Ini Penjelasan Dokter...
Pengapuran Lutut Apakah Harus Operasi? Ini Penjelasan Dokter...
Health
Dari Sunjay Kapur Meninggal, Apa Tertelan Lebah Bisa Sebabkan Serangan Jantung?
Dari Sunjay Kapur Meninggal, Apa Tertelan Lebah Bisa Sebabkan Serangan Jantung?
Health
Waspada Virus Hanta, Kemenkes Laporkan 8 Kasus di Indonesia
Waspada Virus Hanta, Kemenkes Laporkan 8 Kasus di Indonesia
Health
Miliuner India Sunjay Kapur Meninggal Usai Diduga Menelan Lebah
Miliuner India Sunjay Kapur Meninggal Usai Diduga Menelan Lebah
Health
Demam Mulai Turun Bukan Berarti Sembuh, Justru Fase Paling Mematikan DBD Bisa Dimulai
Demam Mulai Turun Bukan Berarti Sembuh, Justru Fase Paling Mematikan DBD Bisa Dimulai
Health
Demam Biasa Bisa Sembuh, Tapi Demam Berdarah Bisa Berujung Maut Bila Tak Ditangani
Demam Biasa Bisa Sembuh, Tapi Demam Berdarah Bisa Berujung Maut Bila Tak Ditangani
Health
Remaja 19 Tahun Diduga Alami Alzheimer, Kasus Termuda yang Pernah Dilaporkan
Remaja 19 Tahun Diduga Alami Alzheimer, Kasus Termuda yang Pernah Dilaporkan
Health
Alami Stevens Johnson Syndrome, Apakah Bahaya?
Alami Stevens Johnson Syndrome, Apakah Bahaya?
Health
Sakit Kulit Jokowi Dituding Stevens Johnson Syndrome, Kenali Ruam Khas Penyakit Ini…
Sakit Kulit Jokowi Dituding Stevens Johnson Syndrome, Kenali Ruam Khas Penyakit Ini…
Health
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau