KOMPAS.com - Konsumsi konten online berlebihan, obsesi Instagram, menonton video pendek tanpa tujuan, adalah beberapa aktivitas yang dianggap bisa memicu kerusakan otak alias brain rot. tapi apakah bisa benar-benar "merusak" otak?
Tahun lalu, Oxford University Press menetapkan "brain rot" sebagai kata tahunan mereka, mendefinisikannya sebagai kemunduran mental atau intelektual yang disebabkan oleh konsumsi berlebihan "konten receh" atau tidak menantang di media sosial dan platform online.
"Sama seperti ketika kita makan terlalu banyak snack yang tidak sehat, konten receh itu seperti junk food untuk otak," kata Dr. Andreana Benitez, profesor asosiasi di Departemen Neurologi di Medical University of South Carolina, AS.
Tentu frasa brain rot tak menggambarkan proses pembusukan secara nyata terjadi di otak. Para ahli menyebut bahwa pembusukan otak sebagai kondisi mental dan penurunan kemampuan kognitif akibat penggunaan gawai secara berlebihan.
Baca juga: Brain Rot, Istilah Kekinian akibat Kecanduan Konten Receh di Medsos
Dampak pada mental remaja
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), setengah dari remaja di AS menghabiskan waktu empat jam atau lebih untuk menatap layar setiap hari. Semenara itu, perkiraan global menunjukkan orang dewasa mungkin online rata-rata lebih dari enam jam per hari.
Sampai saat ini memang tidak ada pedoman kesehatan tentang berapa jam waktu layar harian yang tepat untuk remaja atau orang dewasa.
Para peneliti tidak memiliki cukup data untuk sepenuhnya memahami konsep kerusakan otak dan apa yang mungkin ditimbulkannya.
"Tidak ada ilmu pengetahuan yang koheren tentang hal ini," kata Benitez.
Baca juga: Dokter: Main Gawai Bisa Ganggu Kemampuan Makan dan Sensorik Anak
Namun, ada data CDC yang menunjukkan bahwa 1 dari 4 remaja yang sering menggulir layar melaporkan merasa cemas atau tertekan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masalah akibat penggunaan internet yang berlebihan dapat dimulai sejak usia sangat muda.
Remaja yang menghabiskan lebih banyak waktu di depan layar cenderung lebih berisiko mengalami masalah kesehatan mental, termasuk depresi, kecemasan, gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (ADHD), serta gangguan oposisi defian, dan juga gejala fisik terkait seperti nyeri, pusing, atau mual.
Temuan ini berdasarkan analisis tahun 2024 terhadap data dari Adolescent Brain Cognitive Development Study, studi jangka panjang terbesar tentang perkembangan otak anak di Amerika Serikat.
Studi lain juga mengaitkan fenomena "brain rot" dengan desensitisasi emosional (kurang sensitif), kelebihan beban kognitif, rendahnya harga diri, serta gangguan pada fungsi eksekutif otak, termasuk ingatan, perencanaan, dan pengambilan keputusan.
Baca juga: Berapa Lama Anak Boleh Main Gadget? Psikiater Jelaskan Batas Waktunya
Menurut pakar dari Weill Cornell Medical Center, New York City, Dr.Constantino Iadecola, meskipun tidak ada bukti bahwa berjam-jam waktu di depan layar setiap hari mengubah struktur otak manusia, hal-hal yang tidak terjadi selama jam-jam tersebut dapat membahayakan, terutama bagi kaum muda yang otaknya masih berkembang.
"Semakin banyak waktu yang dihabiskan kaum muda di depan layar, semakin sedikit waktu yang tersisa untuk beraktivitas fisik atau berinteraksi langsung dengan manusia yang memasok masukan sensorik dan emosional yang kritis dan kompleks bagi otak yang sedang berkembang", katanya.
Agar bisa berkembang, otak butuh berbagai paparan. Saat menggunakan gawai, kita tidak mendapatkan pengalaman-pengalaman lain ini.
"Kita mengganti interaksi manusia dengan interaksi buatan, dan interaksi buatan tidak memiliki kompleksitas pengalaman manusia – reaksi verbal, sensorik, dan emosional yang kita miliki setelah berinteraksi dengan orang lain," katanya.
Baca juga: Sering Main Gadget Sambil Menunduk, Waspadai Saraf Kejepit di Leher
Isi konten online
Bukan hanya durasi menonton yang penting tetapi juga isi kontennya.
"Jika Anda mengonsumsi konten daring berkualitas rendah dalam jumlah berlebihan, Anda cenderung terpapar informasi yang dapat mendistorsi persepsi tentang realitas dan membahayakan kesehatan mental," kata Banitez.
Terus-terusan menognsumsi konten negatif dalam jumlah besar juga dapat membuat seseorang kelelahan secara mental.
Tetapi seberapa banyak yang terlalu banyak belum ditentukan, kata Benitez. Berpegang pada analogi makanan cepat saji, ia menyamakan waktu menonton layar dalam waktu singkat dengan camilan makanan cepat saji sesekali.
"Sekantong keripik mungkin tidak terlalu buruk, tetapi jika makan tiga sekaligus, itu mungkin jadi masalah," katanya.
Baca juga: 3 Faktor Penyebab Gangguan Mental pada Remaja, Ini Kata Psikolog
Membantu anak-anak – dan orang dewasa – mengonsumsi "makanan daring" yang lebih sehat tidaklah mudah, kata Benitez. Sebab berbagai unsur kehidupan modern, mulai dari pekerjaan sekolah hingga berbelanja, hiburan, dan bersosialisasi, melibatkan aplikasi daring.
"Bagi anak-anak, layar adalah bagian dari kehidupan mereka. Begitulah cara mereka memperoleh banyak informasi," katanya.
Namun, orang dewasa berkewajiban untuk menyeleksi konten, memastikan mereka mengonsumsi konten yang baik dan tidak mengakibatkan kelelahan mental.
"Kita perlu memastikan mereka terlibat dalam pemikiran kritis saat mereka berinteraksi dengan layar," katanya.
Baca juga: Anak Jadi Target Pelecehan dan Eksploitasi Seksual Online
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.