KOMPAS.com - Nyeri dada yang muncul berulang kali selama lebih dari tiga bulan bisa menjadi tanda kondisi jantung serius bernama angina refrakter.
Gejala ini sering kali dianggap sepele, padahal bisa mengindikasikan gangguan aliran darah ke otot jantung yang tidak lagi responsif terhadap obat, ring, atau bypass.
“Kalau sudah diberi obat, pasang ring, atau bypass tapi tetap nyeri dada selama tiga bulan, itu disebut angina refrakter,” kata dr. Ade Meidian Ambari, Sp.JP, Subsp. PRKV(K), PhD, dalam talkshow Instagram Kementerian Kesehatan RI, Senin (30/6/2025).
Ini adalah kondisi nyeri dada kronis yang muncul terus-menerus meski pasien telah menjalani terapi medis secara maksimal. Berikut penjelasannya.
Baca juga: Tren Jalan Kaki 6-6-6 Dorong Gaya Hidup Sehat, Efektif Turunkan Risiko Penyakit Jantung
Nyeri dada pada angina refrakter biasanya muncul saat beraktivitas ringan dan mereda setelah istirahat.
Namun, seiring waktu, gejala ini bisa bertahan bahkan saat tubuh tidak melakukan aktivitas berat.
Berikut ini gejala khas angina refrakter:
Keluhan ini kerap disalahartikan sebagai masalah lambung atau masuk angin. Padahal, jika dibiarkan, kondisi tersebut dapat berkembang menjadi serangan jantung.
Baca juga: Olahraga Lari Aman untuk Pemula, Dimulai dari Jantung yang Sehat
Jika nyeri dada muncul meski hanya setelah naik satu lantai tangga, hal ini sudah cukup untuk menjadi alasan pemeriksaan medis.
Pemeriksaan jantung disarankan sejak usia 40 tahun, apalagi jika memiliki faktor risiko seperti hipertensi, kolesterol tinggi, diabetes, atau kebiasaan merokok.
Menurut Ade, pasien termuda yang ia tangani mengalami serangan jantung pada usia 24 tahun. Pasien tersebut diketahui merokok tiga bungkus sehari sejak usia remaja.
Baca juga: Waspadai Risiko Henti Jantung Saat Olahraga Lari, Dokter Ingatkan Deteksi Dini
Bagi pasien yang tidak bisa menjalani prosedur ring atau bypass, terapi non-bedah seperti External Counterpulsation (ECP) bisa menjadi pilihan.
Prosedur ini dilakukan dengan memasang manset di kaki yang memompa darah ke arah jantung secara teratur sesuai ritme jantung.
“Efeknya seperti olahraga, tapi pasif,” ujar Ade.
Terapi ini dijalankan selama 35 sesi, masing-masing berdurasi satu jam, selama sekitar tujuh minggu.
Sebelum menjalani ECP, pasien harus menjalani evaluasi jantung dan pembuluh darah untuk memastikan tidak ada kontraindikasi.
Mengenali gejala sejak awal dan segera memeriksakan diri ke dokter sangat penting agar penanganan bisa dilakukan sebelum kondisi bertambah parah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.