Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/02/2015, 13:17 WIB

KOMPAS.com - Bubur bayi yang diklaim sehat kian marak dijual di pinggir jalan. Betulan sehat atau hanya siasat pedagang?

Hari belum lagi pukul 6.30 pagi. Di tepi jalan Condet, Jakarta Timur, Risa, sebut saja begitu namanya, berdiri mengantre di sebelah gerobak tukang bubur. Sesekali ia mengusap keringat di dahinya. Mulutnya terlihat merenggut, apalagi saat bayi yang digendongnya mulai rewel.

Syukur Risa berdiri tak lama. Dengan wajah sumringah, ia menerima sekantung plastik bubur yang ditukarnya dengna uang dua ribuan rupiah. Ia lalu berjalan kembali ke rumahnya yang tak jauh dari lokasi tukang bubur. Sarapan bubur ayamkah Risa pagi itu? Oh, tidak. Bubur yang ia beli buat bayinya kok.

Beli bubur bayi di pinggir jalan, dan dikemas dalam kantong plastik pula? Yup. Dan pastinya, Risa tak sendirian. Karena hampir setiap pagi banyak "Risa" lain yang juga merubungi penjual bubur bayi di kawasan Sukabumi Selatan, Jakarta Barat, Kalisari Jakarta Timur, dan Pondok Aren, Tangerang Selatan.

Tidak sampai pukul 8.00, rombongan para ibu ini sudah bubar. Tapi yang pasti, bubur bayi yang dijajakan memang sudah sold out. Dengan harga 2000 - 3500 rupiah per porsi, bubur bayi ini laris manis. Tak peduli penjualnya cuma memakai gerobak, panci kusam, atau meja reyot, yang penting praktis dan katanya sehat. Apalagi, ada penjual yang menyediakan dua rasa berbeda setiap hari, rasa kaldu ayam dan ikan.

Sayang, meski kebersihan tampak dijaga dengan panci bubur yang tertutup rapat, kok ya buburnya dikemas dalam kantong plastik. Ada juga yang memakai cup plastik seperti yang biasa dipakai untuk agar-agar. Akibatnya, tak lebih dari 2 menit, bagian bawah kemasan cup yang terkena panas sudah berubah bentuk. Sehatkah bubur bayi semacam itu?

Ditambah garam & gula

Memang sih, di antara para penjual bubur bayi, ada yang di booth-nya terpampang tulisan "Tanpa Bahan Pengawet, Tanpa Garam, Tanpa Gula, Tanpa MSG". Lalu, bagaimana rasanya? Betulan hambar. Yang terasa hanyalah kaldu.

Bahkan, nomor uji lab Dinas Kesehatan pun disertakan selain keterangan bahwa bubur MPASI-nya dibuat dari bahan-bahan organik. Bubur MPASI memang wajib sehat. Sementara embel-embel "organik" kadung dipercaya sebagai "sehat" pula.

Ternyata, tukang bubur bayi semacam itu tak selamanya jujur. Cobalah cicipi rasa bubur MPASI yang dijajakan di satu perumahan di kawasan Japos Tangerang Selatan. Si penjual mengaku memasukkan garam dan gula ke dalam bubur bayi itu. Padahal, ia mengantongi izin dari dinas kesehatan setempat (No.142 tahun 2010).

Mungkin karena dirasa enak (oleh lidah pembelinya yang adalah orang dewasa), bubur ini sudah habis terjual sebelum pukul 8.00 dengan harga Rp 3500 per porsi. Menunya setiap hari juga berbeda.

"Bubur bayi sehat" apakah menyehatkan, memang perlu diteliti lebih lanjut. Cuma yang pasti, usaha yang dilakukan para penjual bubur ini memang jitu. Praktis, enak, murah, dan langsung dari panci panas, siapa yang tak suka makanan seperti itu.

Tapi toh kalau dilihat dari segi praktisnya, bubur MPASI buatan pabrik sebetulnya tak kalah. Cukup dicampur dengan air hangat, jadilah bubur yang siap disantap. Tambahan lagi, kandungan gizinya presisi dan teruji oleh BPOM maupun Kemenkes.

Saat ini ada juga katering makanan sehat untuk bayi dan anak yang mengklaim menggunakan bahan-bahan berkualitas tinggi. Kemasan makanannya pun dikemas cantik dan higienis. Tak heran jika harganya pun tak murah.

Tetapi, membuat bubur bayi sendiri masih diyakini para ibu lebih aman dan terjamin. Rasanya juga lebih beragam, sehingga si kecil tidak bosan. Bahkan, tak sedikti yang rela keluar uang lebih demi membeli bahan makanan organik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau