Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/05/2015, 17:48 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) saat ini dinilai belum memperhatikan aspek keadilan sosial. Yang mendapat manfaat terbanyak dari pembiayaan kesehatan adalah masyarakat di kota besar dan secara ekonomi mampu.

Hal tersebut disampaikan Peneliti Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Laksono Trisnantoro dalam diskusi media yang digelar oleh International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) di Jakarta, Selasa (26/5/15).

"Sistem JKN kita hanya menganut satu jenis pembiayaan yang 100 persen ditanggung pemerintah. Padahal masyarakat kita kemampuannya macam-macam, banyak juga yang sebenarnya sangat mampu tapi mereka ikut ditanggung," kata Laksono.

Ia menambahkan, dana BPJS sekarang ini terbanyak dipakai oleh masyarakat yang mampu dan tinggal di perkotaan. "Masyarakat menengah ke atas adalah pemakai dana BPJS terbanyak," ujarnya.

Menurut data dari BPJS sampai dengan bulan November 2014, peserta BPJS pekerja bukan penerima upah (PBPU) atau perorangan berjumlah 7 juta jiwa. Yang telah memanfaatkan pelayanan kesehatan sekitar 23 persen (1,6 juta jiwa) dengan penyerapan biaya sekitar Rp 7,9 triliun.

Rata-rata jumlah iuran yang dibayar oleh kelompok PBPU perjiwa perbulan sebesar Rp 27.062, sementara itu biaya pelayanan kesehatan yang mereka terima perjiwa sebesar Rp 282.138. Dengan kata lain, klaim rasio peserta PBPU adalah 1,380 persen.

"Orang yang masuk kelompok PBPU ini banyak yang secara ekonomi sangat mampu, misalnya pengusaha restoran, pedagang, dan sebagainya," imbuh Laksono.

Sementara itu, peserta BPJS kelompok non-PBPU yang merupakan kelompok miskin terdiri dari 123,6 juta jiwa dan yang memanfaatkan layanan kesehatan sebanyak 5,4 juta (kurang dari 4 persen). Jumlah iuran yang dibayarkan perbulan sekitar Rp 27.478, sementara biaya kesehatan yang didapat sebesar Rp 21.997.

"Peserta PBI sering gagal memanfaatkan JKN karena berbagai faktor, termasuk sedikitnya fasilitas kesehatan di tempat tinggal mereka dan terbatasnya dokter di daerah," katanya.

Walau data perklaim wilayah belum ada, tapi menurut Laksono kebijakan JKN yang diharapkan bisa terjadi subsidi silang dari kelompok PBPU justru tidak terjadi.

"Justru kebalikannya, masyarakat di daerah tertinggal tidak bisa memanfaatkan layananan BPJS, sementara di Jawa dan kota-kota besar memanfaatkan dengan baik, padahal bayar iurannya sama," katanya.

Laksono menyarankan, masyarakat menengah ke atas sebaiknya membayar asuransi kesehatannya sendiri dengan asuransi swasta. Dengan demikian pemerintah bisa lebih fokus untuk menanggung biaya kesehatan masyarakat yang tidak mampu.

"Iuran BPJS untuk pelayanan kesehatan kelas 1 sangat murah, itu tidak masuk akal. Masak yang di NTT dan di Yogyakarta bayarnya sama-sama Rp 60 ribu tapi manfaat yang diterima sangat berbeda karena infrastruktur kesehatannya belum siap," katanya.

Sistem pembiayaan cakupan semesta yang diamanatkan undang-undang, menurut dia, baru bisa dilakukan jika infrastuktur dan layanan kesehatan di banyak daerah di Indonesia sudah sama.

"Daerah-daerah yang layanannya masih tertinggal, misalnya NTT atau Papua, sebaiknya jangan pakai BPJS dulu. Layanan kesehatannya diperkuat dulu, mereka memakai program kesehatan khusus dari pemerintah yang berbeda," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau