KOMPAS.com - Selama ini bila anak atau orang dewasa mengalami berbagai gangguan tidak menyadari bahwa gangguan tersebut ternyata diakibatkan oleh alergi makanan. Berbagai gangguan tersebut sering disalah persepsikan oleh masyarakat bahkan oleh sebagian dokter. Seringkali berbagai gangguan tersebut dikira hal lain sehingga seringkali penderita alergi makanan mengalami overdiagnosis dan overtreatment. Faktanya, gangguan tersebut akan hilang timbul bersamaan dengan hilang timbulnya tanda dan gejala alergi lainnya.
Beberapa ahli alergi berpendapat bahwa 30-50 persen secara genetik manusia mempunyai predisposisi untuk berkembang menjadi alergi. Dengan kata lain, mempunyai antibodi Imunoglobulin E terhadap lingkungan penyebab alergi. Sejauh ini, banyak orang tidak mengetahui bahwa keluhan yang dia alami itu adalah gejala alergi. Resource (Marketing Research) Limited melakukan penelitian di Inggris bagian selatan tahun 2000. Dilaporkan, lebih dari 50 persen orang dewasa menderita alergi makanan. Sekitar 70 persen penderita alergi baru mengetahui kalau ia mengalami alergi setelah lebih dari 7 tahun. Sekitar 50 persen orang dewasa mengetahui penyebab gejala alergi setelah 5 tahun, bahkan terdapat 22 persen baru mengetahui setelah lebih 15 tahun mengalami gangguan alergi. Sebanyak 80 persen penderita alergi mengalami gejala seumur hidupnya.
Kontroversi
Penderita alergi makanan pada anak tidak jarang mengalami "overtreatment" dan "overdiagnosis" . Dimana, pengobatan dan diagnosis yang diberikan berlebihan yang tak sesuai dengan kondisi penyakit yang sebenarnya. Hal tersebut dapat terjadi karena penyakit alergi hampir mirip dengan penyakit infeksi lainnya. Cukup sering terjadi penderita asma dan alergi mendapatkan terapi tuberkulosis (TBC) paru selama 6 bulan atau lebih. Penderita alergi juga sering dianggap sebagai penyakit infeksi lainnya sehingga sering terjadi pemberian obat-obatan antibiotika yang tidak diperlukan. Lebih tragis, penderita alergi relatif sering mengalami tindakan operasi bedah seperti operasi usus buntu (like apendicitis), operasi pengambilan amandel (tonsilektomi), operasi sinusitis, operasi pembuntuan saluran air mata.
Mungkin bila sedikit cermat dalam mengamati dan mendiagnosis alergi tersebut sejak dini, risiko yang cukup banyak mengganggu tersebut dapat dicegah. Penderita alergi yang tidak terkendali, biasanya sering berganti-ganti dokter, dilakukan pemeriksaan bermacam-macam dan mengkonsumsi berbagai macam obat terus menerus. Pemberian obat yang berlangsung lama dan terus menerus tersebut kadang malah menimbulkan masalah kesehatan baru. Pemberian obat anti alergi dan pencegahan secara terus menerus menunjukkan kegagalan dalam mendeteksi dan mencegah penyebab alergi. Dalam beberapa puluh tahun lamanya mungkin sering dihadapi masyarakat pada umumnya, masih sering terjadi kontroversi tentang penyakit alergi.
Seorang penderita alergi makanan mendapat advis dari seorang dokter untuk menghindari makanan tertentu untuk mengurangi keluhan penyakitnya. Tetapi dokter lainnya mengatakan tidak perlu menghindari makanan tersebut, karena makanan tidak berhubungan dengan penyakitnya. Sebagian dokter berpendapat, bahwa gejala alergi jarang ditemukan, alergi hanya berkaitan dengan sedikit penyakit dan sangat jarang menyangkut bahan makanan. Makanan yang diakui sebagai penyebab alergi masih sangat terbatas misalnya gluten susu dan ikan. Sedangkan kubu dokter lain berpendapat alergi sangat umum dan bersembunyi dibalik berbagai kelainan yang hingga sekarang tak dapat disembuhkan, seperti radang sendi (artritis), eksim (dermatitis atau alergi kulit), migren (sakit kepala sebelah).
Mereka ingin mengungkapkan bahwa seluruh permasalahan kesehatan dapat dicetuskan dan disembuhkan dengan penanganan alergi. Timbul pendapat bahwa penyebab alergi makanan tidak dibatasi, semua jenis makanan atau minuman dapat dianggap sebagai penyebab alergi. Bahkan bahan bukan makanan dapat menyebabkan alergi seperti semprotan rambut, uap obat nyamuk, uap bensin, plastik dan semua bahan kimia yang potensial mengganggu dalam lingkungan kita. Penyebab alergi lainnya yang sudah lama diyakini dan tidak disangsikan lagi adalah debu, kutu, bulu binatang, serbuk sari atau bulu unggas lainnya.
Suasana perbedaan pendapat tersebut jauh dari suasana kekeluargaan. Ungkapan dari berbagai pihak seperti "tak terbukti", "berbahaya", "orientasi obat", "berpikiran sempit", "tidak ilmiah" atau "tidak kompeten" secara tak sadar secara langsung diterima oleh pasien. Jika para pakar medis sudah berbeda pendapat secara tajam, maka orang awam menjadi bingung karena pendapat berbagai dokter berlainan. Dalam menghadapi kontroversi ini tidak heran bila masyarakat semakin bingung tak tahu harus minta bantuan kemana.
Tanda dan Gejala Alergi Makanan yang Dianggap Hal Lain
1. COLIC ATAU MALAM REWEL : Sering disalah artikan anak haus terus, minta minum, kurang susu atau bau tangan. Padahal hal itu sering terjadi pada penderita alergi dengan gangguan saluran cerna yang mengalami rasa tidak enak di perut.
2. BERAK DARAH PADA BAYI : Sering dianggap infeksi bakteri, atau infeksi amuba,
3. MATA BELEKAN PADA BAYI (ALLERGY NEONATAL OPTHALMICA) : Sering dianggap infeksi padahal hanya terjadi sumbatan atau inflamasi di saluran duktus nasolakrimalis atau salkuran penghubung hidung dan mata.
4. BADAN SULIT NAIK DAN BATUK LAMA : Sering dianggap karena anak terlalu lincah atapun tidak bisa diam, padahal kulitas makan anak tidak konsisten dalam jangka panjang karena gangguan saluran cerna pada penderita alergi. Sering dikira penyakit TBC atau awam mengenal dengan flek paru padahal anak tidak mengalaminya
5. SULIT MAKAN ATAU SULIT MINUM SUSU: Dianggap karena bosan susu atau bosan makanan, Padahal pada penderita alergi khususnya gangguan saluran cerna sering mengalami nafsu makan yang terganggu.
6. BAB SERING (Usia < 1 Bulan > 4kali, > 1 bulan 3 kali lebih perhari): Sering dianggap kekenyangan atau banyak makan. Sering dianggap wajar karena minum ASI padahal banyak anak minum ASI tidak mengalami hal demikian.
7. MUDAH MUAL ATAU MUNTAH SAAT MAKAN, BERLARI, MENANGIS ATAU NAIK KENDARAAN: Selama ini dianggap karena lambung terlalu kecil, klepnya terganggu, kekenyangan, atau mabuk kendaraan. Padahal anak mengalami gastroesephageal refluks yang sering terjadi pada penderita alergi