KOMPAS.com — Beberapa hari yang lalu, saya visite bersama sejawat dokter internship. Seorang dokter wanita yang cantik. Tentu masih sangat muda belia, dan saya yakin ilmunya masih segar.
Secara teoretis, barangkali bisa melebihi Saya. Tetapi, seperti diketahui kedokteran tidak hanya sekadar Ilmu, “science”, tetapi juga “art”, seni. Bagaimana seorang dokter berhubungan dengan pasiennya, mulai dari cara si dokter menyapa, berbicara, mendengarkan atau berkomunikasi, memeriksa, tidak hanya dapat membantu menegakkan kemungkinan diagnosis, tetapi juga kepuasan dan kesembuhan pasien.
Sehubungan dengan itu, karena ingin melihat pendekatannya kepada pasien, saya minta dia memeriksa pasien yang baru saja dirawat karena sesak napas. Agar tidak gugup, sambil memeriksa pasien lain, saya amati dari jarak agak jauh apa yang dilakukannya terhadap pasien. Saya lihat sejawat ini mengeluarkan steteskopnya dan langsung menempelkannya di beberapa tempat di daerah jantung pasien. Tak berapa lama setelah itu, ia kembali mendampingi saya.
Saat saya tanyakan, "apa yang Anda dapatkan?"
"Suara jantungnya tidak normal dokter”, jawabnya.
"Ya, Saya tahu itu, tetapi apa itu cukup? Coba Anda periksa lagi!"….
Hmmmm, si dokter yang cantik ini kelihatan agak gugup dan kembali memeriksa pasien itu. Saya lihat Ia masih melakukan hal yang sama, tetapi sedikit lebih lama, kemudian saya lihat Ia berdiri cukup lama membaca foto rontgen dada pasien yang baru saja datang. Tidak berapa lama setelah itu ia kembali mendekati saya.
”Jantungnya membesar dokter”, katanya spontan.
“Dari mana Anda tahu?”, tanya Saya lagi
“Dari gambaran foto dadanya dok “, jawab dokter yang cantik ini.
Ok, jantungnya memang membesar, akibat hipertensi yang dideritanya sudah cukup lama dan tidak terkontrol dengan baik. Tetapi yang saya harapkan adalah, sebelum sampai ke kesimpulan itu, bagaimana Anda melakukan pemeriksaan yang benar kepada pasien, mulai dari anammesis, tanya jawab tentang keluhannya, riwayat penyakitnya, sampai dengan melihat, mengamati, memeriksa Pasien secara keseluruhan. Saya berharap Anda akan memegang tangannya, memeriksa nadinya, mata, hidung, telinga dan boleh dikatakan seluruh tubunhya. Jadi tidak hanya dengan steteskop, itu, apalagi hanya melihat hasil rontgen pasien, tetapi dengan tangan Anda sendiri.
Saya lihat tadi Anda tidak melakukannya, perkusi (mengetok pasien dengan jari), palpasi (meraba daerah tertentu dengan telapak tangan), tidak anda kerjakan sama sekali, auskultasi (mendengarkan suara jantung, paru, usus dengan steteskop) juga hanya Annda lakukan pada daerah jantung pasien.
“Ya, dok, saya gugup, seharusnya saya kerjakan semuanya”, ungkapnya.
“Ya, Saya bisa memahaminya, barangkali Anda gugup atau capek. Dari pagi menurut perawat, Anda sudah keliling bangsal. Tetapi, saya lihat, tidak hanya Anda yang memeriksa Pasien seperti itu sekarang, memeriksa pasien ala metro mini- istilah Alm Prof Iwan, teman sejawat lain juga seperti itu, bahkan kadang-kadang Saya pun demikian, memeriksa pasien seperlunya saja. Coba Anda lihat dalam pengobatan massal menjelang Pilkada, atau kegiatan sosial lainnya, pasien duduk di kursi dekat meja dokter, baju dibuka sedikit bahkan kadang-kadang tidak sama sekali, mungkin sedikit ada pertanyaan dari dokternya, apa keluhan pasien, lalu steteskop ditempelkan pada daerah tertentu di dada Pasien. Di poliklinik rawat jalan pemandangan yang hampir sama juga dapat Anda lihat”. Saya mencoba memberikan contoh.
“Ya, Dokter. Barangkali karena pasiennya banyak. Sekarang siapapun kan bisa berobat, yang tidak sakit, atau hanya sakit flu, pilek, pegel linu saja ingin berobat dan maunya ke dokter Spesialis lagi. Di samping itu dokter, siapapun dapat menggunakan Jamkesmas, apalagi Jamkesda, asal diurus pasti surat Jamkesdanya keluar. Bahkan, pasien kelas satu yang sudah dirawat 3 hari lalu sekarang menggunakan Jamkesda, ini kan berpengaruh terhadap kepuasan dokter yang melayaninya”, dokter ini berupaya memberikan alasan mengapa sebagian dokter sekarang jarang memeriksa Pasien sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan.
Nah, itu yang juga saya rasakan. Dua anak saya yang sedang menjalani PTT dan internship di daerah juga mengungkapkan hal yang sama. Pasien banyak sekali, rata-rata di atas 100 Pasien sehari. Bayangkan, “apa yang dapat dilakukan seorang dokter, apalagi dokter yang belum banyak pengalaman, melayani Pasien sebanyak itu?”
Padahal, mendengarkan keluhan pasien, melihat, memeriksanya secara seksama, tidak hanya akan membimbing seorang dokter kepada kemungkinan suatu diagnosa, atau penyakit seorang pasien. Saya ingat waktu kuliah kedokteran umum dulu, seorang guru besar waktu itu mengatakan, dari cara berjalan pasien saja sudah dapat membantu, kira-kira apa yang dialami seorang yang datang ke tempat praktek dokter.
Sekitar 60-80 % penyakit seorang pasien bakan dapat ditegakkan, hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisiknya. Hanya sebagian kecil pasien yang memerlukan pemeriksaan penunjang yang canggih. Dan, selain itu, mendengarkan keluhan pasien, memeriksanya dengan hati dan hati-hati adalah modal awal proses penyembuhan pasien.
Oleh karena itu, apa pun alasannya, apakah karena pasiennya banyak, dokternya capek, tidak puas, jasa yang kecil-itu pun tidak jelas kapan keluarnya, Anda harus tetap berupaya melayani setiap pasien dengan baik. Berikanlah perhatian yang maksimal walau dalam keterbatasan yang ada. Sempatkanlah untuk memdengarkannya, memeriksanya, walau hanya dengan sedikit sentuhan, rabaan, dan bagi seorang yang sakit ini akan sangat berarti, dan paling tidak akan mengurangi keluhan-keluhan pasien, “Saya kok tidak Diperiksa, Dokter?”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.