Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/12/2013, 12:04 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis

KOMPAS.com - Pengetahuan para ibu di Indonesia terkait ASI diduga masih minim. Akibatnya berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, angka cakupan ASI di Indonesia hanya 42 persen. Angka ini jelas di bawah target WHO yang mengharuskan cakupan ASI minimal 50 persen. Padahal, ASI memastikan kecukupan nutrisi pada anak untuk tumbuh kembang sekaligus memperkuat sistem imun tubuhnya.

“Pengetahuan minim inilah yang kemudian menyebabkan ibu tidak berusaha maksimal memberikan ASI. Ibu lebih memilih yang praktis ketimbang repot memerah atau menyusui anaknya,” kata Direktur Bina Kesehatan Anak Kemenkes RI, Elizabeth Jane Soepardi, pada Kompas Health Jumat (20/12/2013). 

ASI, kata Jane, merupakan hak anak. Orangtua yang tidak memberikan ASI sebetulnya bisa dikatakan melanggar hak anak. Di negara yang lebih maju, pelanggaran ini tentu berbuah sanksi. Sayangnya, Indonesia belum menerapkan sanksi untuk ibu yang melanggar hak anak.

Sanksi sebetulnya tidak diperlukan bila orangtua mengerti manfaat ASI dan ingin memberikan yang terbaik untuk buah hatinya. Apalagi riset tahun 2009 membuktikan, virus hepatitis C yang menginfeksi anak bisa inaktif berkat ASI. Hepatitis C sendiri besar kemungkinannya menyebabkan kanker hati (sirosis), dan sampai saat ini belum tersedia vaksin untuk mencegah serangan virus tersebut.

Manfaat ASI, lanjut Jane, sebetulnya tak hanya semata meningkatkan IQ dan daya tahan tubuh. Pemberian ASI menentukan ikatan antar anak dengan orangtua dan keluarga seutuhnya. Ibu yang rutin menyusui perlahan akan memahami sifat dan karakter anak. Ibu bahkan mengetahui arti tangisan, porsi minum, hingga kapan anak bisa diajak bermain.

Hal tersebut tentu berperan dalam pertumbuhan anak menjadi remaja. Anak yang dekat dengan keluarga relatif sanggup meminimalisasi paparan buruk lingkungan sekitar. Sehingga anak bisa tumbuh dewasa dengan sifat dan karakter positif.

“Dengan kondisi ini maka kita harus mengintervensi pengetahuan ASI ke dalam keluarga. Salah satunya dengan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), yang mengharuskan seluruh anggota keluarga termasuk tenaga kesehatan mengawasi kesehatan ibu dan anak. Buku ini akan dimodifikasi sehingga memuat tentang ASI,” kata Jane.

Buku KIA selanjutnya dibawa pulang, menjadi pegangan kesehatan ibu, dan tidak boleh hilang.  Buku KIA, kata Jane, sebetulnya sudah ada sejak 2004. Sayangnya buku ini tidak tersosialisasikan dengan baik sehingga tidak banyak anggota masyarakat dan tenaga kesehatan yang mengetahuinya.

“Sosialisasi ulang sebetulnya sudah dilaksanakan. Saat ini kami sedang memodifikasi buku KIA sehingga bisa dibagikan pada awal 2014 bersamaan dengan dimulainya JKN. Buku ini nantinya akan dibagikan ke sentra layanan primer, misalnya puskesmas,” kata Jane.

Buku KIA diharapkan bisa meningkatkan pengetahuan ibu tentang ASI. Selanjutnya kesadaran pentingnya menyusui akan membaik yang berdampak pada meningkatnya angka cakupan ASI.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau