KOMPAS.com - Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan mulai digulirkan hanya dalam hitungan hari lagi, yaitu pada 1 Januari 2014. Dengan diberlakukannya JKN, ada beberapa perubahan pada sistem kesehatan di Indonesia, khususnya pada pembiayaan pengobatan yang akan menggunakan sistem paket Indonesia-Case Based Groups (INA-CBG's).
Dalam sistem tersebut, pasien dibebaskan dari tanggungan biaya pengobatan yang dikenakan dari rumah sakit sebagai pemberi layanan kesehatan. Sebagai gantinya, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan lah yang akan membiayai tanggungan.
Obat merupakan salah satu komponen dalam pembiayaan sistem INA-CBG's. Oleh karenanya, sudah dapat diduga, permintaan obat generik tentu akan meningkat pesat seiring diberlakukannya JKN.
Kendati demikian, kepercayaan masyarakat terhadap obat generik masih beragam. Seperti yang dituturkan oleh Dewi (42), salah seorang pasien saat ditemui di sebuah klinik di kawasan Tangerang, dia lebih memilih untuk menggunakan obat bermerek dibandingkan dengan generik.
"Saya lebih percaya pada obat bermerek. Meski saya belum tahu perbedaan efek antara obat bermerek dan generik, tapi lebih baik pilih yang bermerek," ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Fajar (38), pasien yang ditemui saat tengah menebus resep obat di apotek salah satu rumah sakit swasta di Tangerang. Fajar mengaku, fasilitas penggantian biaya obat yang diterimanya dari kantor tempatnya bekerja membuat dia lebih suka memilih obat dengan harga yang lebih mahal.
"Obat yang mahal harapannya kualitasnya juga baik, jadi lebih cepat sembuh," cetus karyawan sebuah perusahaan konveksi itu.
Seperti yang diketahui, harga obat bermerek memang lebih mahal berkali-kali lipat dibandingkan dengan obat generik. Menurut Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang, harga obat generik bisa jauh lebih murah, karena tidak membutuhkan biaya promosi seperti halnya obat bermerek.
"Obat generik menggunakan nama zat aktif obatnya, misalnya statin untuk menurunkan gula darah, sementara obat bermerek menggunakan nama dagang yang perlu dipromosikan, makanya harganya bisa jadi jauh di atas obat generik," paparnya saat dihubungi
Kompas Health beberapa waktu lalu.
Meski begitu, Linda menegaskan, meski harganya jauh lebih murah, sebenarnya tidak ada perbedaan antara kualitas obat generik jika dibandingkan dengan obat bermerek. Pasalnya, kedua sebenarnya merupakan obat
copy dari obat paten (
originator), sehingga tidak berbeda dalam hal zat aktif, indikasi, dan bentuk sediaan.
Bedanya hanya pada nama dagang sehingga ada yang disebut sebagai obat bermerek dan ada pula yang disebut sebagai obat generik berlogo (OGB). OGB sendiri sebenarnya merupakan program pemerintah yang diluncurkan pada tahun 1989 yang bertujuan untuk memberikan alternatif penyediaan obat dengan harga terjangkau dengan kualitas yang sesuai standar.
Logo pada OGB berupa lingkaran hijau bergaris-garis putih dengan tulisan "Generik" di bagian tengah lingkaran. Logo tersebut menunjukkan bahwa OGB telah lulus uji kualitas, khasiat dan keamanan. Sedangkan garis-garis putih menunjukkan OGB dapat digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat.
Linda menjelaskan, sebelum dipasarkan, setiap obat generik, baik yang berlogo maupun bermerek, harus melalui uji bioekivalensi. Dengan uji tersebut, kata dia, zat aktif obat dan khasiatnya dapat dipastikan sama dengan originatornya.
Edukasi Linda mengakui, citra OGB di masyarakat belum setara dengan obat bermerek. Karena itu, edukasi merupakan hal penting untuk menghilangkan stigma kurang baik pada OGB.
"Dengan edukasi yang baik, setiap orang tidak akan ragu lagi dengan OGB sebagai pilihan obat mereka, karena mereka pasti tahu, tidak ada bedanya antara OGB dengan obat bermerek," ucapnya.
Edukasi memang berperan penting dalam menentukan pemilihan terhadap obat. Misalnya pada Dhery (21), mahasiswa farmasi di salah satu universitas negeri ini dengan mantap memilih OGB karena menurutnya tidak berbeda dengan obat bermerek.
"Kandungan zat aktifnya (OGB dan obat bermerek) kan sama, jadi buat apa harus keluar uang lebih untuk beli obat bermerek?" kata Dhery.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Adi (23). Lajang yang sehari-hari bekerja di apotek sebagai asisten apoteker ini mengaku dirinya lebih memilih OGB. "Tidak masalah dengan OGB, meski banyak juga orang yang memilih obat bermerek, tetapi dengan harga yang lebih murah dan kualitas yang sama, saya lebih pilih OGB," ujarnya.
Adi pun mengaku, dirinya sering menjelaskan pada konsumen soal perbedaan OGB dengan bermerek sehingga membantu mereka untuk memilih. Edukasi, menurut dia, sangat penting dilakukan demi tak ada lagi salah kaprah masyarakat untuk memilih obat bermerek dengan anggapan obat tersebut lebih baik, padahal kenyataannya sama saja.
Linda mengatakan, untuk penyakit-penyakit kronis yang membutuhkan obat seumur hidup seperti diabetes atau tekanan darah tinggi akan sangat rugi jika konsumen menggunakan obat bermerek, sementara OGB hadir dengan harga yang lebih murah. Karena itu, masyarakat perlu diyakinkan melalui edukasi yang dalam hal ini tenaga kesehatan memiliki peranan penting.
Perbaikan Tampilan kemasan OGB, kata Linda, juga salah satu faktor penting yang menentukan keinginan orang untuk memilihnya. Bentuk kemasan yang berupa botol-botol besar yang berisi obat dalam jumlah besar seharusnya sudah ditiadakan.
"Jika obat bermerek dikemas dalam bentuk strip, maka OGB juga harus begitu. Kemasannya pun perlu dibuat lebih menarik, kalaupun ada kemasan dalam botol, maka perlu dibuat dalam bentuk botol kecil, sehingga dijualnya juga masih di dalam botol," tuturnya.
Dengan kemasan yang baik diharapkan citra OGB akan menjadi lebih baik di masyarakat. Sekaligus, memudahkan dokter untuk meyakinkan pasien untuk menggunakannya.
Menurut dia, perbaikan kemasan tidak akan signifikan mempengaruhi peningkatan biaya produksi OGB. Ini karena permintaan OGB yang meningkat saat diberlakukannya JKN akan membuat biaya produksi semakin efisien sehingga menutup biaya perbaikan kemasan.
"Semakin banyak obat diproduksi, biayanya akan lebih efisien karena bahan baku, proses produksi, serta pengontrolan dilakukan sekaligus dalam kapasitas yang besar," kata Linda.
Ketersediaan
Penerapan JKN diperkirakan akan membuat target pasar obat meningkat hampir tiga kali lipat untuk memenuhi kebutuhan 240 juta penduduk. Artinya, peningatan produksi obat khususnya OGB juga perlu dilakukan oleh industri farmasi di Indonesia.
Ketua Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) Johannes Setijono mengatakan, belum ada aturan peningkatan kapasitas produksi OGB untuk menghadapi JKN. Karena itu, keputusan untuk meningkatkan produksi bergantung pada masing-masing industri farmasi.
"Tapi paling tidak untuk tahun 2014 ini, kapasitas industri farmasi akan cukup, karena masih ada kapasitas cukup di industri yang bisa dimanfaatkan, dan cukup banyak anggota yang sudah mempersiapkan diri dengan meningkatkan kapasitas sejak beberapa tahun ini," ujarnya saat dihubungi melalui surat elektronik beberapa waktu lalu.
Johannes menambahkan, meskipun yakin tidak akan ada kekurangan kapasitas, namun tetap ada kemungkinan timbulnya hambatan, khususnya jika ada permintaan mendadak terhadap produk tertentu. Ini artinya, hambatan bukan karena kapasitas, melainkan masalah penjadwalan produksi dan ketersediaan bahan baku.
"Bagaimana pun, secara keseluruhan kami cukup optimis akan lancar dari pihak industri," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.