Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Obat Generik Bermerek, Tindak Pembodohan Masyarakat

Kompas.com - 11/12/2013, 14:15 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com
- Kebijakan obat generik bermerek dinilai sebagai tindakan pembodohan masyarakat. Dengan harganya yang lebih mahal, obat generik bermerek memiliki kualitas yang sama dengan obat generik berlogo (OGB). Padahal harga OGB jelas lebih murah dibandingkan obat generik bermerek.
 
Hal tersebut dikatakan Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Marius Widjajarta, saat dihubungi KOMPAS Health, Selasa (11/12/2013) kemarin.
 
“Obat generik bermerek mungkin bisa dikatakan tindak pembodohan. Masyarakat tidak tahu kerugian yang jelas menimpanya, dengan harga obat generik bermerek yang lebih mahal,” katanya.
 
Obat generik bermerek, kata Marius, memiliki harga 40-200 kali lebih mahal dibanding harga OGB. Padahal kandungan keduanya memiliki bahan aktif dan khasiat yang sama. Keduanya juga menjalani prosedur, bahan, baku, dan metode yang sama.
 
Kondisi ini, jelas Marius, dikarenakan minimnya edukasi yang diterima masyarakat terkait obat generik bermerek dan OGB. Padahal kebijakan pengadaan obat generik sudah ada sejak 1989. OGB menjadi bagian program pemerintah yang diluncurkan dengan SK Menteri Kesehatan RI nomer 085/Menkes/1989. Pemerintah perlu mengadakan program ini karena kebutuhan masyarakat menengah kebawah atas obat yang kualitasnya terjamin dan harga terjangkau.
 
Perbedaan obat generik bermerek dan OGB hanya pada pengemasan dan penempatan merek dagang. Obat generik bermerek juga lebih dekat dengan masyarakat, karena merupakan obat over the counter (OTC) yang mudah diperoleh di warung atau apotik terdekat. Sementara obat generik berlogo biasanya dinamai seusai bahan aktifnya dan dikemas lebih sederhana.
 
Dengan perbedaan ini maka obat generik bermerek memiliki pangsa pasar yang lebih besar. Marius mengatakan, pangsa pasar obat generik bermerek mencapai lebih dari 60 persen. Sementara OGB hanya 23 persen.
 
Kondisi ini tentu jauh berbeda dibandingkan negara lain dengan pengaturan tata niaga obat lebih baik, misalnya negara daratan Eropa. “Di negara tersebut hanya ada generik dan paten, tidak lebih. Dengan pengaturan ini masyarakat tidak bingung dan pangsa pasar obat generik bisa meningkat. Pemerintah seharusnya bisa lebih tegas mengatur tata niaga, dan mengharuskan tenaga kesehatan untuk selalu memberikan OGB,” kata Marius.
 
Menghadapi kondisi ini, Marius menyarankan masyarakat sedapat mungkin menggunakan OGB yang ditandai lingkaran hijau bertuliskan GENERIK pada kemasannya. Terutama saat masyarakat berobat pada tenaga kesehatan. Masyarakat tidak boleh pasrah dan menerima begitu saja resep obat yang dituliskan dokter. 
 
“Saat ini sudah terdapat sekitar 543 OGB yang bisa membantu pengobatan masyarakat. Hampir semua obat sudah ada bentuk generiknya kecuali yang masih paten. Masyarakat tidak boleh dibodoh-bodohi dan asal terima resep yang dituliskan dokter,” kata Marius.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau