Upaya ini terus dilakukan Syamsi Dhuha Foundation yang selama 10 tahun ini berjuang mendampingi orang dengan lupus (odapus).
“Ini adalah kisah pergeseran mental, dari sikap negatif terhadap penyakit menjadi positif. Kami tidak ingin meratap, bercucuran air mata. Kami ingin bisa menjalani hidup menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain,” kata Dian Syarief, Ketua SDF di acara peluncuran buku Mentarimorfosa di Bandung akhir pekan lalu.
Buku itu menandai satu dasawarsa perjalanan SDF berkiprah di tengah masyarakat. Buku setebal 128 halaman ini dibuat agar odapus bisa berproses ke arah yang lebih baik, selain itu juga bertujuan sebagai bentuk kampanye kesadaran masyarakat tentang lupus. Buku ini juga menjadi kegiatan wirausaha sosial bagi odapus.
“Tahun ini saya berulang tahun ke 15 dan terimakasih saya masih bisa tetap menjalani hidup dengan baik hingga sekarang,” kata Dian. Ulang tahun yang dimaksud Dian mengacu pada saat pertama kali ia terkena lupus, yaitu 15 tahun lalu.
Lupus adalah kondisi dimana sistem kekebalan tubuh seseorang berlebihan sehingga justru menyerang organ-organ tubuhnya sendiri. Kondisi itu bisa fatal jika organ tubuh yang diserang adalah organ vital seperti paru-paru, ginjal, jantung, dan lain-lain.
Dian menjadikan dirinya sebagai contoh bagaimana ia menghadapi lupus dengan sikap positif meski ia sudah puluhan kali menjalani operasi. Di awal ia mengaku sering jatuh bangun saat lupus mendera. Ia dibantu suaminya, dan juga menguatkan diri dengan berkumpul bersama para odapus lainnya. "Saya pernah melihat ada yang kondisinya lebih parah karena tidak punya uang untuk berobat. Dari situ saya terpikir untuk berbuat sesuatu," ungkap Dian.
Selain peluncuran buku, peringatan 10 tahun SDF yang bertepatan dengan World Lupus Day ini juga diisi dengan pemberian penghargaan Research Sponsorship All About Lupus dan Pengabdian Seumur Hidup kepada 10 orang yang tak lelah membantu odapus.
Rachmat Gunadi, dokter yang menjadi sukarelawan SDF, mengatakan, saat ini Indonesia belum memiliki data epidemiologi lupus. Angka yang dipakai sebagai acuan di Indonesia biasanya diambil dari data penderita lupus di dunia yang jumlahnya sekitar 5 juta orang. Di Indonesia diperkirakan 400.000 orang terkena lupus.
Selama sepuluh tahun, SDF berjuang tidak hanya mendampingi mental para odapus. Organisasi nirlaba ini juga berjuang mendapatkan obat-obatan murah bagi odapus.
Menurut Dian, obat-obat imunosupresan yang bekerja menekan system kekebalan tubuh masih impor dan saat ini belum sepenuhnya masuk dalam program jaminan kesehatan masyarakat. “Untuk satu siklus terapi bisa menghabiskan biaya Rp 100 juta per orang,” kata Dian.
Dengan uang yang dikumpulkan dari para donator, SDF juga mengembangkan penelitian suplemen terapi lupus. Sejak tahun 2011, yayasan nirlaba ini memberikan dana penelitian bagi kalangan akademisi yang ingin menggali potensi bahan alami untuk terapi lupus. Tahun 2011 lalu, muncul proposal penelitian tentang daun cocor bebek (kalanchoe pinnata) sebagai obat terapi lupus. Selanjutnya tahun 2012, ada proposal yang mengungkapkan daun ceplukan/cecendet (Physalis angula) bisa untuk terapi lupus.
“Kedua bahan alami itu sudah diujicobakan pada mencit dan hasilnya menunjukkan bisa menekan kekebalan tubuh mencit. Kami berencana mengajakan uji klinis kedua bahan alami itu,” ungkap Dian. Untuk uji klinis, biayanya tidak murah. Dibutuhkan sekitar Rp 500 juta untuk menguji satu item bahan alami yang berarti kira-kira membutuhkan Rp 1 milyar untuk menguji kedua bahan tersebut.
Soal uang untuk uji coba klinis, Dian mengaku mereka belum punya. Namun ia dan para odapus di SDF terus bersemangat untuk bergerak mencari dana. Kini SDF telah memiliki anggota sekitar 600 orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Anggotanya bukan hanya para odapus, tetapi juga sukarelawan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.