JAKARTA, SABTU-Serangan kanker kelenjar getah bening (limfoma non-hodgkin-NHL) kian mengancam kesehatan masyarakat. Saat ini diperkirakan sekitar 1,5 juta orang di dunia menderita kanker ini, dan setahun sekitar 300.000 orang meninggal dunia karena penyakit ini. Untuk itu, deteksi dini tumor ganas tersebut diperlukan untuk meningkatkan harapan hidup penderitanya sehingga kualitas hidup bisa dipertahankan.
"Saat ini target terapi telah digunakan di banyak negara untuk mengatasi kanker limfoma," kata Kepala Manajemen Medik PT Roche Indonesia dr Stephanus Kairupan, dalam jumpa pers, Sabtu (29/3), di Hotel Four Seasons, Jakarta.
Limfoma adalah sejenis kanker yang tumbuh akibat mutasi sel limfosit (sejenis sel darah putih) yang sebelumnya normal. Hal ini mengakibatkan sel abnormal menja di ganas. Seperti halnya limfoma normal, limfoma ganas dapat tumbuh pada berbagai organ dalam tubuh termasuk kelenjar getah bening, limpa, sum-sum tulang, darah maupun organ lain.
Terdapat dua macam kanker sistem limfatik yaitu penyakit hodgkin dan limfoma non hodgkin (NHL). NHL adalah sekelompok penyakit keganasan yang saling berkaitan dan mengenai sistem limfatik. Di Indonesia, mayoritas penderitanya terserang limfoma agresit (derajat keganasan tinggi) yang cepat tumbuh dan menyebar dalam tubuh, bila dibiarkan tanpa pengobatan dapat mematikan dalam enam bulan.
Angka harapan hidup rata-rata berkisar lima tahun dengan sekitar 30-40 persen sembuh. Pasien yang terdiagnosis dini dan langsung diobati lebih mungkin meraih remisi sempurna dan jarang mengalami kekambuhan. Karena itu, sangat penting mengenali gejala penyakit ini sejak awal di antaranya batuk-batuk dan sesak napas, benjolan di leher, ketiak dan daerah di antara kaki, gatal-gatal, demam tanpa sebab, berat badan turun drastis.
Penyebab NHL belum diketahui secara pasti. Ada empat kemungkinan penyebabnya yaitu faktor keturunan atau genetik, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus atau bakteri, dan toksin lingkungan seperti herbisida, pengawet dan pewarna kimia. Pengobatan inti NHL saat ini meliputi kemoterapi, terapi antibodi monoklonal, radiasi, terapi biologik dan cangkok sumsum tulang. "Di banyak negara, pengobatan dilakukan dengan mengkombinasi beberapa jenis terapi," ujarnya.
Ahli hematologi dari Universitas Sydney Associate Professor Mark Hertzberg menyatakan, tingkat keberhasilan terapi kombinasi itu sangat tergantung dari kondisi pasien bersangkutan. S emakin cepat penderita berobat, maka peluang kesembuhan dan harapan hidupnya juga makin besar. Diakui, tidak semua penderita sukses menjalani pengobatan kombinasi ini, terutama pada penderita dengan komplikasi gangguan pada jantung. (EVY)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.