KOMPAS.com - Tingginya penggunaan internet dan media sosial di kalangan anak-anak dan remaja di Indonesia perlu diimbagi dengan perlindungan yang kuat. Sebab, penelitian menemukan 1 dari 12 anak mengalami eksploitasi dan pelecehan seksual daring.
Temuan itu disampaikan dalam hasil penelitian global yang dimuat dalam jurnal The Lancet Child & Adolescent Health. Para peneliti menyerukan adanya aksi global untuk melindungi anak-anak dan remaja.
Dalam studinya tim peneliti mengkaji data dari 123 penelitian antara tahun 2010 dan 2023. Kemudian dianalisis jumlah anak-anak di bawah usia 18 tahun yang mengalami beberapa subtipe pelecehan seksual, yaitu ajakan daring; eksploitasi seksual daring; pemerasan seksual; serta pengambilan dan penyebaran, serta paparan gambar dan video seksual tanpa persetujuan.
“Studi ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kesadaran dan tindakan dari masyarakat dan pembuat kebijakan. Kemajuan pesat dalam teknologi digital dan pertumbuhan akses internet, terutama di negara-negara berkembang, semakin membahayakan anak-anak setiap harinya,” kata Dr.Xiangming Fang, peneliti.
Baca juga: Cegah Eksploitasi Seksual Anak, CFI Luncurkan Swipe Safe
Fang mengatakan, internet sudah menjadi tempat kejadian perkara, di mana tiap satu detik ada 10 anak yang mengalami eksploitasi seksual dan kekerasan online.
"Ini adalah keadaan darurat kesehatan global yang terkait dengan kesehatan mental dan fisik yang memburuk, berkurangnya prospek pekerjaan, dan harapan hidup yang lebih rendah," kata Fang dalam email.
Para peneliti mendefinisikan eksploitasi seksual daring sebagai tindakan seksual yang dipertukarkan dengan uang atau sumber daya.
"Itu bisa berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, kasih sayang, perlindungan, kepemilikan, hadiah, atau apa pun yang dianggap bernilai bagi remaja atau anak," kata Fang.
Baca juga: Jaringan Prostitusi Online di Batam Terungkap, Tawarkan Anak di Bawah Umur
Sementara itu permintaan seksual daring adalah permintaan seksual dan percakapan seksual jangka panjang, yang dapat mengarah pada pertukaran gambar atau video seksual.
"Penting untuk dicatat bahwa berbagai jenis permintaan daring sering kali datang dari teman sebaya maupun pelaku dewasa," Fang menambahkan.
Pemerasan seksual terjadi ketika seseorang memeras orang lain untuk mendapatkan sesuatu termasuk uang, hadiah, atau tindakan seksual lainnya dengan mengancam akan membagikan foto atau video intim.
Studi itu juga menyebutkan, pengambilan foto, pembagian, dan pemaparan gambar seksual tanpa persetujuan dapat terjadi ketika gambar diambil saat seorang anak dalam keadaan mabuk, tidak fokus, tidak sadar, atau tidak dapat memberikan persetujuan.
Eksploitasi dan pelecehan juga dapat terjadi ketika wajah seorang anak dipaksakan pada gambar seksual orang lain (disebut "deepfake") atau ketika seorang anak diperlihatkan konten pornografi.
“Paparan konten seksual yang tidak diinginkan juga sering terjadi saat anak berselancar atau scrolling media sosial,” kata Fang.
Baca juga: Cara Menyampaikan Pendidikan Seksual ke Anak Menurut Psikolog
Penggunaan gambar yang dihasilkan AI, deepfake, dan kemajuan teknologi lainnya telah mendorong munculnya pemerasan, eksploitasi, dan pelecehan seksual. Gambar-gambar tersebut sangat merusak dan pelecehan terus berlanjut karena sulitnya menghapus konten tersebut.