Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 25/08/2014, 15:25 WIB

KOMPAS.com — Pengidap penyakit dalam kerap didera kelainan akibat gangguan emosi mental atau psikosomatik. Penanganan faktor mental itu kerap terabaikan sehingga memperlambat proses pemulihan.

”Dokter sering hanya mengobati sakit fisik, sakit terkait kejiwaan terlupakan,” kata Ketua Perhimpunan Kedokteran Psikosomatik Indonesia Mudjaddid di sela The 16th Congress of Asian College of Psychosomatic Medicine (ACPM) dirangkai Pertemuan Ilmiah Kedokteran Penyakit Dalam Psikosomatik Ke-3, Jumat (22/8), di Jakarta.

Saat menangani pasien jantung, dokter sering kali fokus pada penanganan operasi dan obat untuk penyembuh. Padahal, kondisi jantung juga dipengaruhi pikiran dan kejiwaan pasien.

Mudjaddid, yang juga konsultan psikosomatik pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, menambahkan, penyakit dalam, terutama yang kronis (berlangsung lama), cenderung kian parah jika komorbiditas (bersamaan) dengan gangguan psikosomatik.

”Pasien diabetes melitus, sakit jantung, kanker, atau stroke lebih sulit sembuh jika disertai depresi, cemas, atau panik. Itulah mengapa dokter penyakit dalam harus berkemampuan psikosomatik tinggi,” kata Mudjaddid.

Penanganan gangguan psikosomatik tidak cukup dengan obat, tetapi juga kemampuan komunikasi dokter. Metode itu kombinasi penanganan biologi (fisik), psikologi, sosial, dan spiritual.

”Kondisi pasien depresi bisa lebih baik jika diberi obat untuk meningkatkan serotonin. Namun, akar masalah juga harus diselesaikan. Jika pasien depresi karena masalah keluarga, dokter perlu mendorong dia berbicara dengan keluarga,” ujarnya.

Menurut Ketua ACPM Chiharu Kubo, penelitiannya membuktikan gangguan psikosomatik memperparah penyakit. Gangguan yang diteliti adalah aleksitimia yang membuat seseorang sulit mengetahui kondisi emosinya.

Riset pada 439 orang dewasa sakit kronis di Hisayama, Jepang, yang dipublikasikan Maret 2014, Chiharu bersama tim menemukan, kian tinggi level aleksitimia, sakit yang diderita kian parah. Intensitas kesakitan, disabilitas, depresi, dan kecemasan meningkat jika aleksitimia parah. (A03)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau