Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/10/2014, 08:40 WIB
Dian Maharani

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
- Tak ada yang menyangka, ST (45) tiba-tiba melompat dari lantai 56 Menara BCA, Jakarta. Tindakan yang diduga bunuh diri ini pun mengagetkan keluarga maupun kerabat ST. Terlebih kerabat mengenal ST sebagai seseorang yang pandai bersosialisasi.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto juga mengatakan, menurut keluarga, hubungan ST dan keluarganya juga sedang tidak ada masalah. Belum diketahui motif ST terjun dari lantai 56.

Dokter spesialis kesehatan jiwa Nova Riyanti Yusuf alias Noriyu mengatakan, ST diduga memiliki masalah yang memang tidak bisa ia ceritakan kepada rekan dekat atau keluarga. Tindakan ST pun diduga tidak terjadi secara spontan. Menurut kronologi yang dijelaskan kepolisian, sebelum menjatuhkan diri ST sempat minum dan mondar-mandir sambil menelepon.

ST yang mengenakan kemeja biru kotak-kotak tampak menanti seseorang selama sekitar satu jam. Saat menelepon, kata seorang saksi, Gunawan, ST tampak gusar dan bertengkar di telepon. Setelah semua itu, ST terlihat berjalan menuju jendela dan melompat.

"Mungkin ada masalah yang tidak bisa dia ungkapkan, multikompleks, ada juga faktor psikologi. Kalau dari cerita kepolisian, dia (ST) sebenarnya sudah memberikan warning signs, yaitu mondar-mandir selama satu jam misalnya," terang Noriyu di Jakarta, Rabu (8/10/2014).

Menurut Noriyu, tindakan ST bisa dicegah jika orang disekelilingnya peka. Namun, memang sulit membuat masyarakat sekitar peka terhadap gejala kesehatan jiwa ini. Noriyu menjelaskan, di Australia misalnya, ada tim khusus dari pemerintah yang menangani masalah kesehatan jiwa. Masyarakat bisa melaporkan kepada tim ini jika ada dugaan seseorang yang hendak melakukan bunuh diri.

Psikiater konsultan di RSUD Dr Soetomo Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Nalini Muhdi, mengatakan, penyebab bunuh diri bukan faktor tunggal yang dapat disederhanakan. ”Kita tidak bisa melihat impitan ekonomi atau ditinggal seseorang yang dicintai sebagai satu-satunya penyebab,” kata Nalini (KOMPAS/8/10/14).

Di kota besar, maraknya kasus bunuh diri terjadi, antara lain, karena ketatnya persaingan mendapat hidup layak serta melemahnya keterikatan sosial di masyarakat. Masyarakat Indonesia umumnya memiliki keterikatan sosial yang tinggi. Namun, karena kesibukan sehari-hari, banyak orang tidak memiliki waktu luang untuk bersosialisasi dengan keluarga atau rekan kerja.

Tingkat stres yang tinggi dan terjadi terus menerus juga dapat membuat seseorang merasa terimpit. Antara lain, akibat kemacetan parah, tempat tinggal yang terlalu padat, dan ketidakpastian status pekerjaan.

Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada layanan untuk mencegah seseorang bunuh diri, yaitu menghubungi 500-454. Operator akan mendengarkan masalah seseorang yang terpikir untuk bunuh diri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau