Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/12/2015, 22:50 WIB
Sri Noviyanti

Penulis

“Hampir separuh hidup ini saya habiskan untuk tinja dan sanitasi. Orang menyebut saya si Mantri Kakus”

KOMPAS.com - Lantang suara Abie Wiwoho (57) memperkenalkan diri dengan kalimat tersebut. Riuh rendah tepuk tangan seluruh peserta Konferensi Sanitasi dan Air Minum Nasional (KSAN) 2015), menyambut perkenalannya yang tak biasa itu.

Dua tahun lalu, Abie masih berkutat dengan dunia pendidikan. Dulu, dia adalah akademisi, dosen, sekaligus peneliti khusus mempelajari tinja dan air limbah.

Kini, ia sudah pensiun. Namun, keinginannya berkarya tak pernah padam. Selalu hangat dalam ingatannya masa-masa ia menjadi dosen. Waktu itu, sebutan sebagai "Raja Gagal" kerap menghampiri telinganya.

“Air limbah kan tidak sehat. Sebagai dosen, saya punya ambisi untuk dapat menjernihkannya. Untuk itu, beberapa kali saya lakukan penelitian untuk menjernihkan air limbah,” tutur Abie.

Beberapa kali penelitian yang Abie lakukan tak menghasilkan sesuatu. Bahkan tak jarang ia hanya menjadi bahan tertawaan dari rekan sesama dosen.

“Tekad saya waktu itu, akan berhenti jadi dosen kalau tidak juga berhasil menjernihkan air tinja. Pemerintah rugi membayar saya (kalau saya gagal),” kenang mantan dosen Politeknik Kesehatan Depatemen Kesehatan Jakarta II.

Tak muluk-muluk, sebagai akademisi di bidang kesehatan Abie ingin memutus mata rantai penyakit yang berasal dari air limbah.

KOMPAS.com/SRI NOVIYANTI Bahan Material yang dipakai oleh Abie Wiwoho untuk septic tank komunal berteknologi biofilter buatannya, di antaranya, botol plastik, dan batok kelapa.

“Waktu itu saya mengajar mata kuliah Pembuangan Tinja dan Air Limbah. Mahasiswa di sana boleh jadi menganggap kuliah ini konyol. Banyak yang (semula) tidak suka dengan mata kuliah tersebut,” lagi-lagi Abie mengenang. 

Meski begitu, ia tetap menggebu menyampaikan materi kuliah. Urusan tinja bukanlah urusan sepele baginya. Kegigihannya itu yang akhirnya mengundang rasa hormat dari para mahasiswa Abie. Belakangan, kelas kuliah Abie berbalik menjadi mata kuliah favorit.

Dari "sarang tawon" hingga Wiro Sableng

“Dalam satu gram tinja, ada satu juta bakteri. Terbayang seberapa banyak penyakit yang ada di dalamnya. Tak hanya itu, keseimbangan lingkungan pun akan terganggu (bila tak ada penanganan yang tepat atas tinja),” papar Abie.

Tak hanya limbah, penelitian para mahasiswa Abie ada masalah juga soal tangki septik. “Ternyata masih banyak masyarakat yang tak memiliki tangki septik layak," sebut Abie.

Jangankan di permukiman, ujar Abie, tangki septik di fasilitas publik seperti rumah sakit dan puskesmas pun sama tidak layaknya. Dia pun semakin menguatkan tekad mencari solusi atas masalah ini.

Abie ingin membuat sistem pengolahan limbah cair yang benar-benar layak. Sayangnya, aku dia, pengetahuan dan ilmunya serba terbatas. Perlu waktu dari hari demi hari hingga 15 tahun untuk meneliti dan mendapatkan hasil sesuai harapannya.

“Baru pada 2014 saya menemukan rumus dan desain instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang tepat,” kata Abie.

Sistem IPAL besutan Abie adalah  tangki septik memakai teknologi ramah lingkungan biofilter. Teknologi ini menjernihkan air limbah yang keluar dari tangki limbah sehingga tak lagi mencemari lingkungan.

“Di dalamnya ada penyaring ‘sarang tawon’. Airnya jadi bening sehingga sudah aman ketika dibuang ke lingkungan,” tutur Abie. IPAL rancangan Abie dengan teknologi ini kemudian dipakai di rumah sakit, puskesmas, maupun permukiman.

“Sedangkan untuk tangki septik sederhana, saya pakai rumus Wiro Sableng, 212,” ungkap Abie dengan menyisipkan gurauan. Wiro Sableng adalah tokoh fiktif dalam novel serial silat lokal karya Bastian Tito yang melejit pada era 1990-an.

"Kode" 212 yang melekat di nama sosok ini berasal dari senjata Wiro—kapak maut naga geni 212—dan tato di dadanya. Adapun dalam rumus Abie, angka "212" itu merujuk pada ukuran tangki septik, yaitu 2 meter x 1 meter x 2 meter.

Rumus tersebut sudah memperhitungkan kecenderungan sempitnya lahan di permukiman warga. Ke tangki dengan dimensi ini, limbah cair rumah tangga yang berasal dari kamar mandi, dapur, dan cucian pakaian dapat mengalir.

“Biayanya juga tidak mahal. Bahan material yang dibutuhkan mudah dan murah. Kami biasa memakai botol bekas minuman air mineral, dan tempurung kelapa,” sebut Abie.

Kini, Penjaringan dan Semper Barat, dua wilayah di Jakarta telah menggunakan sistem biofilter komunal karya Abie. Hasil pengolahannya telah teruji di laboratorium dan memenuhi standar baku mutu untuk air yang siap dibuang ke sungai.

KOMPAS.com/SRI NOVIYANTI Abie Wiwoho, memaparkan sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) ciptaannya, dalam Konferensi Sanitasi dan Air Minum Nasional, Rabu (11/11/2015).
“Air jenis ini layak untuk kebutuhan toilet (flushing) dan menyiram tanaman,” imbuh Abie. Dia pun mempersilakan siapa saja mendatangi dua wilayah yang sudah menerapkan sistem racikannya itu. “Buktikan sendiri ke sana, tidak ada lagi air limbah yang berwarna,” tegas dia.

Akses universal

Hingga saat ini, sarana sanitasi dasar dan air minum layak masih menjadi awan kelabu bagi lingkungan di Indonesia bahkan dunia. Pentingnya masalah ini menjadikannya sebagai salah satu target Milennium Development Goals (MDGs) yang ditetapkan PBB pada 2000.

Sebagai anggota PBB, Indonesia turut mengupayakannya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia secara nasional telah mewujudkan air minum layak bagi 68,36 persen populasi dan akses sanitasi dasar kepada 61,04persen populasi pada 2014.

Demi mendorong universal access—istilah untuk akses air minum layak dan sanitasi dasar—bagi seluruh penduduk Indonesia, pemerintah memasukkan target MDGs itu dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Program tersebut menargetkan, paling tidak dalam 5 tahun ke depan ada peningkatan 40 persen di bidang sanitasi layak dan  30 persen akses air minum aman. Tentu, pemenuhan target itu tak semudah membalik telapak tangan.

Tak hanya Abie yang sebegitu gelisah soal urusan tinja dan penanganan air limbah. Dari Wonosobo, Jawa Tengah, ada pula cerita Dani Ardiansyah yang melihat masih saja ada warga yang menjadikan parit, selokan, dan sungai sebagai tempat membuang tinja.

Ketiadaan jamban menjadi alasan warga, selain masalah kebiasaan. Membangun kesadaran masyarakat menjadi tantangan Dani. Dia harus memikirkan pula terobosan solusi yang tak sekadar jalan pintas sesaat.

“Bila membangun jamban, tak bisa menggunakan tangki septik biasa karena akan cepat penuh,” kata Dani Ardiansyah, Fasilitator Lapangan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Wonosobo. [Kompas.com, 2/2/2012].

Muncullah ide membangun tangki septik berukuran besar, lebih dari 20 meter persegi. “Ada penampungan dan sekat-sekat untuk memperlambat aliran air,” tutur Dani. Pada 2010, mencuatlah pengembangan program tangki septik komunal memakai dana alokasi khusus sanitasi lingkungan berbasis masyarakat.

Dengan dana APBD dari pos bantuan langsung masyarakat sekitar Rp 869,6 juta, dibangun delapan tengki septik dan dua sarana mandi, cuci, dan kakus (MCK) di Wonosobo Barat dan Wonosobo Timur.

Lalu, pada 2011, pemerintah daerah meningkatkan alokasi dana hingga Rp 1,57 miliar untuk pembuatan 22 tangki septik dan enam sarana MCK di Wonosobo Barat, Wonosobo Timur, Mlipak, dan Jarak Sari.

Dukungan kemudian datang pula dari PT Tirta Investama, lewat program corporate social responsibility, berupa dana Rp 250 juta untuk membangun lima tangki septik komunal dan sebuah MCK di Kejiwan.

Dalam pembangunannya, kegiatan ini mendapatkan pendampingan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan. Program pada 2012 ini melayani 668 keluarga (2.498 jiwa).

Karena keterbatasan lahan, tangki septik komunal yang berukuran besar di beberapa wilayah dibangun di bawah jalan kampung. Dengan struktur tulang beton, tangki septik ini mampu dilewati kendaraan bermotor.

Dari program tersebut, Wonosobo menjadi pemenang Indonesia MDGs Award 2011 untuk kategori peserta Pemerintah Daerah dengan tema ”Sanitasi dan Air Bersih”.

Masih butuh uluran tangan dan inovasi, seperti halnya upaya Abie. Butuh pula terobosan solusi dari beragam kalangan, sebagaimana yang terlaksana di Wonosobo.

Butuh kegelisahan dan kegigihan memperjuangkan dan mengupayakan perbaikan kualitas hidup bangsa, dari setiap anak-anak Ibu Pertiwi. Apakah Anda salah satunya?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau