KOMPAS.com – Patah hati dan kesepian ternyata sekarang harus lebih diwaspadai. Bukan cuma rasanya tak enak, kedua hal itu juga membawa risiko tinggi terhadap kesehatan.
Tengok saja cerita Aldi (27 tahun). Dia yang dikenal periang, mendadak suka mengurung diri di kamar. Aldi juga lebih pendiam.
Usut punya usut, lelaki ini sedang patah hati. Hubungan cintanya kandas tak terduga, padahal beberapa bulan sebelumnya mereka sudah mengutarakan niat melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan.
Kehadiran orang ketiga menjadi penghalang rencana besar Aldi. Dia pun terpuruk. Dari sosok lelaki penuh tawa riang menjadi kaku dan kikuk.
Sapaan dan senyuman ramah yang biasa terlontar dari mulut Aldi kini berganti raut muka sedih dan tatapan mata kosong. Khawatir dengan kondisi itu, ibu Aldi pun meminta teman-teman anak lelakinya itu datang untuk menghibur sekalipun tak sesuai harapan juga.
Fase “bengong” seperti dialami Aldi dalam kasus patah hati, bukanlah kasus tunggal. Menurut Barbara De Angelis—penulis buku The 100 Most Asked Question About Love, Sex, and Relationship—fase awal setelah putus cinta adalah masa perasaan tercabik-cabik.
Untuk memperingan dan memperpendek periode fase ini, mereka yang patah hati sah-sah saja bila menangis sepuasnya untuk meluapkan kesedihan. Lalu, olahraga dan makan teratur harus dilakukan untuk memastikan kondisi fisik tak ikut drop saat hati berantakan.
Sesudah itu, sebaiknya segala kenangan tentang sang mantan, apalagi bertemu dengannya, dihindari.
Waspadai terbunuh sepi
Satu hal lagi yang perlu diwaspadai saat seseorang patah hati, yaitu perasaankesepian. Mereka yang biasa memiliki pasangan mendadak merasa bahka tak lagi punya teman.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.