Oleh: Rizky Bina Nirbayaningtyas, Willy Tasdin, dan Monty P. Satiadarma*
MENGGAMBAR alam-benda (still-life drawing) adalah salah satu bentuk kegiatan seni rupa tematik di mana individu mentransformasikan obyek-obyek yang ada di sekelilingnya ke dalam bentuk proyeksi gambar.
Menggambar satu atau dua obyek merupakan kegiatan yang paling sederhana. Misalnya, menggambar buah, menggambar gelas dan piring, atau yang lebih kompleks adalah menggambar sejumlah obyek seperti rangkaian bunga, obyek makanan dan minuman serta perangkat makan-minum di dalam komposisi yang terintegratif sebagai satu kesatuan gambar.
Jadi, obyek-obyek tersebut tersusun sedemikian rupa seperti display lalu digambar (dilukis) di atas kertas (kanvas).
Aktivitas menggambar atau melukis alam-benda ini merupakan aktivitas senso-motor kreatif dalam memproyeksikan obyek-obyek nyata ke layar proyeksi tertentu (kertas atau kanvas).
Berbeda dengan seni fotografi; perangkat fotografi telah dilengkapi dengan sarana teknis yang bersifat standard. Misalnya, jika 10 kamera memotret 1 buah apel dari sudut sama dengan pencahayaan sama, maka kesepuluh foto itu akan sama.
Sedangkan menggambar atau melukis lebih alami dan unik. Jika ada 10 orang menggambar apel dari sudut pandang sama dengan perangkat gambar sama, hasilnya akan berbeda sesuai sensitivitas masing-masing individu.
Pasalnya, penginderaan alami individu disertai persepsi, emosi, interpretasi, impressi serta keterampilan yang kesemuanya tidak didapati pada perangkat teknis fotografi.
Menggambar alam-benda memberikan pelatihan pada individu untuk mencermati obyek nyata yang ada di hadapannya secara langsung. Dalam prosesnya individu belajar mencermati bentuk, ukuran, jarak, bahan (logam, kayu, kain, dll), serta permukaan (halus, kasar, dll) obyek.
Proses pelatihan ini pada dasarnya tidak melibatkan fantasi lebih lanjut kecuali dalam proses karya seni rupa murni.
Oleh karena itu, proses pelatihan menggambar alam-benda mendekatkan individu pada realita, karena ia menggambarkan hal nyata yang ada di hadapannya.
Ia tidak melibatkan angan-angan atau fantasi tentang bentuk serta kedudukan benda-benda tersebut. Alasan inilah yang kemudian dijadikan landasan pertimbangan untuk melatih individu membatasi daya fantasi dan sebaliknya lebih mendekatkan diri dengan realita.
Dalam konteks kesehatan mental banyak ditemukan keluhan pasien yang diselimuti dengan fantasi berlebihan, bahkan seringkali keliru dan salah satunya adalah bentuk delusi.
Delusi adalah kesalahan persepsi atas diri sendiri dengan menganggap diri sebagai sosok lain, misalnya individu menganggap dirinya superman.
Delusi dikenal dengan istilah lain sebagai waham. Bentuk-bentuk delusi atau waham meliputi waham kejaran (delusi paranoia), waham kebesaran (delusi grandiosa), waham seksual (erotomania) dan ragam bentuk waham aneh lain (bizzare delusions).
Delusi paranoia atau waham kejaran dialami individu yang merasa dipersekusi, padahal sama sekali tidak ada yang mempersekusinya.
Delusi grandiose atau waham kebesaran, yakni individu merasa dirinya memiliki kemampuan luar biasa seperti superman, atau yang sering ditemui bahwa mereka menganggap dirinya memiliki kesaktian tertentu.
Erotomania adalah bentuk delusi yang melibatkan fantasi seksual tertentu, misalnya, individu merasa melakukan hubungan seksual dengan artis tertentu.
Adapun delusi aneh lain, misalnya, individu merasa dirinya mampu melakukan perubahan bentuk (ber-metamorfosa menjadi mahluk lain).
Pada salah satu studi kasus di salah satu rumah sakit jiwa (RSJ) di Jakarta ada seorang laki-laki (X, 28 tahun berpendidikan S1, anak ke dua dari dua bersaudara) menderita delusi erotomania.
Ia merasa dirinya dirasuki Asmodeus, sosok fantasi kerajaan iblis yang memiliki kekuatan luar biasa.
Ia harus menjalani perawatan di RSJ karena berperilaku mengganggu lingkungan, bersifat destruktif dan berpotensi membahayakan lingkungan.
Ia menyakiti kucing dengan palu, melakukan perusakan kendaraan (motor dan mobil) dengan menendang kendaraan dan dilaporkan acap kali mengamuk dan mengancam orang di sekelilingnya.
Gangguan yang ia alami sesungguhnya bersifat kronis, namun tidak diantisipasi lebih awal oleh keluarga.
Bermula sejak kecil mengalami perundungan dari lingkungan seperti teman sekolah, bahkan dari anggota keluarga seperti sepupu, dan ia merasa tidak beroleh perlindungan dari orangtua. Sebaliknya ia merasa senantiasa menjadi sasaran amarah orangtua.
Kondisinya mulai berubah sejak ia belajar seni bela-diri Taekwondo di usia 16 tahun dan mulai melakukan perlawanan fisik termasuk terhadap ayahnya. Menurutnya, ayah tidak lagi berani melakukan hukuman fisik terhadapnya.
Usai sekolah menengah dia mengikuti pendidikan Teologia, yang memengaruhinya ke dalam fantasi dunia roh dan membuatnya mengalami ragam halusinasi.
Ia merasa dirinya diutus Tuhan untuk mempertobatkan dunia dengan memanen jiwa-jiwa di bumi. Sebaliknya ia juga mengalami rasa kesepian karena merasa tidak memiliki pasangan hidup. Ia berfantasi seksual dan merasa mampu berhubungan seksual dengan dewi-dewi.
Waham kebesaran disertai fantasi seksual ini merupakan bentuk Delusi Grandiosa Erotomania.
Mengacu pada konsep psikoanalisa Alfred Adler, kondisi yang dialami X merupakan manifest kompensasi dari rasa rendah diri sejak masa kecil.
Semula ia merasa inferior karena senantiasa menjadi korban perundungan lingkungan dan cenderung jadi kambing hitam sasaran kemarahan orangtuanya.
Ia berubah menjadi merasa amat berdaya setelah belajar seni bela diri. Ia merasa mampu membela diri dan mengalahkan orang lain, bahkan menyerang ayahnya sendiri yang sebelumnya merupakan figur yang amat ia takuti.
Rasa keberdayaannya semakin memengaruhi daya fantasinya setelah mengikuti pendidikan teologia, karena peningkatan kemampuan fisiknya disertai juga dengan fantasi sosok dunia roh seperti Awsmodeus dan dewi Fortuna yang dijadikan sosok fantasi dalam berimajinasi seksual.
Fantasi Asmodeus membuatnya merasa superior dalam lingkungan hidup dan memengaruhi kecenderungan aggresi serta melukai orang lain.
Selama menjalani rawat inap di RSJ, ia tentu memperoleh bantuan medis guna meredam perilaku agresinya. Kondisi rawat inap relatif mencegahnya melakukan agresi di lingkungan masyarakat.
Namun selama masa rawat inap itu pula ia masih memiliki delusi gandiosa erotomania. Hal itu terungkap melalui paparan narasinya dan hasil evaluasi tes psikologi dalam bentuk proyeksi gambar.
Gambar-gambarnya menunjukkan superioritas fisik dalam bentuk sosok berotot dan banyak menekankan (memfokuskan) pada sensualitas dan seksualitas.
Walaupun bentuk gambar-gambarnya lebih cenderung bersifat skematis dalam bentuk notasi bentuk global, namun temanya menggambarkan alat kelamin dan posisi individu berhubungan seksual.
Guna meredam gejolak fantasi yang memengaruhi sebagian besar wahamnya, maka dilakukan pendekatan melalui aktivitas menggambar alam-benda dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut.
Pertama alam-benda mendekatkan individu pada obyek nyata yang artinya juga mengalihkannya dari dunia fantasi yang memengaruhi delusinya.
Kedua, obyek alam-benda dapat dipilihkan yang relatif sederhana sehingga mudah untuk digambar. Kemudian proses ini membantu individu merasa mampu merampungkan tugas dengan baik.
Ketiga, proses sederhana yang memberi peluang individu merampungkan tugas membantu meningkatkan perasaan mampu dan berdaya melakukan sesuatu.
Keempat, melalui proses menggambar alam-benda, individu membangun relasi dengan realitas secara langsung guna mereduksi kecenderungannya berfantasi lebih lanjut.
Aktivitas menggambar alam-benda yang digunakan sebagai salah satu sarana mereduksi delusi atau waham ini berlangsung lima sessi setelah semua proses pengambilan data terpenuhi.
Sessi intervensi berlangsung dalam durasi sekitar 45 menit setiap sessi. Durasi ini juga disesuaikan dengan ijin yang diberikan oleh pihak rumah sakit.
Pada awal ia diminta untuk mencoba menggambar obyek apapun yang ada di lingkungan sekitarnya sesuai dengan kemampuannya dan ia diminta untuk menjelaskan hal yang dirasakan ketika menggambarkan obyek tersebut.
Pada mulanya ia menggambarkan tempat sampah. Ia merasakan kesulitan menggambarkan obyek tersebut walau relatif sederhana karena ia sulit melukiskan kemiripan lekuk-lekuk yang terdapat pada obyek tersebut.
Ia kemudian beralih menggambarkan tanaman yang terdapat di dekatnya dan ia mengutarakan bahwa ia dapat belajar memahami perbedaan bentuk batang, cabang dan daun dari tanaman; ia mulai belajar merasakan perbedaan hal-hal alam realita secara langsung.
Pada sessi kedua, ia diminta menggambarkan obyek yang terasa dekat dengannya. Ia menggambar handphone.
Ia semakin menyadari kekhasan obyek tersebut yang semula cenderung digambarkan secara global kini bertahap semakin mirip dengan obyek nyatanya.
Ia semakin mampu menggambarkan realita semirip mungkin dengan obyek dan semakin menjadari bagian obyek yang digambarkannya.
Dalam sessi ketiga, ia belajar mengintegrasikan obyek yang pernah digambar sebelumnya. Di sessi awal ia menggambarkan tanaman di dalam pot, dan di sessi kedua ia menggambarkan handphone.
Dalam sessi ketiga, ia menggambarkan tanaman dalam pot serta handphone yang diletakkan dekat pot; di samping itu ia juga menggambarkan taplak meja yang melandasi pot serta handphone.
Proses ini merupakan proses menggambar integratif di mana individu mengintegrasikan penginderaan beberapa bentuk obyek ke dalam satu kesatuan tema.
Dalam pertemuan keempat yang berlangsung di luar RSJ, ia diminta untuk kembali menggambarkan beberapa obyek nyata di hadapannya secara terintegratif (merupakan kesatuan tema).
Ia diminta untuk mentrasformasikan gambarnya tersebut dengan membuat obyek menggunakan lilin mainan (wax-clay). Ia amat menikmati kegiatan tersebut dan merasa semakin mampu menggambar dan membentuk obyek mirip dengan obyek nyatanya.
Ia semakin menyadari adanya perbedaan antara hal nyata dan hasil interpretasi atas persepsinya, dan kondisi ini memengaruhi pemahaman secara positif dalam membedakan alam fantasi dan alam realita.
Pada sessi terakhir melalui proses review, baik langsung pada dirinya maupun atas hasil interview dengan ayahnya, ia terkesan mampu membedakan fantasi dan realita secara lebih baik.
Ia menjadi lebih waspada ketika tengah berfantasi dan menyadari hal tersebut berbeda dengan realita.
Ayahnya melaporkan bahwa selama periode beberapa minggu terakhir setelah intervensi menggambar alam-benda, ia tak lagi berfantasi seperti sebelumnya. Ia tidak lagi bertindak agresif dan lebih mematuhi petunjuk dokter untuk minum obat.
Kondisi ini menunjukkan adanya kemajuan dalam proses treatment, namun tentunya harus diwaspadai sekiranya terjadi jeda terlalu lama besar kemungkinan ia akan mengalami kambuh seperti sebelumnya.
Oleh karena itu, kemajuan langkah treatment ini harus ditindak lanjuti secara berkesinambungan guna mencegah kambuh. Tentunya amat diharapkan bahwa pihak RSJ dapat menindak lanjuti proses ini dengan baik.
*Rizky Bina Nirbayaningtyas, Mahasiswa Magister Psikologi Profesi UNTAR
Willy Tasdin dan Monty P. Satiadarma, Dosen Fakultas Psikologi UNTAR