KOMPAS.com - Banyak orang yang meremehkan penyakit demam berdarah dengue, padahal penyakit ini belum ada obatnya dan telah banyak menimbulkan kematian. Data tahun 2024 menunjukkan, ada 1.400 korban meninggal akibat DBD yang mencatatkan kasus tertinggi dalam sejarah penyakit ini di Indonesia.
Ketua Tim Kerja Arbovirosis, Kementerian Kesehatan RI, dr.Fadjar SM Silalahi mengatakan, dengue adalah penyakit yang bisa mengancam nyawa dan korban terbanyak adalah anak-anak.
"DBD jangan dianggap sebagai penyakit demam biasa supaya penanganannya tidak terlambat. Data menunjukkan kematian penyakit ini sebagian besar karena terlambat mendapat penanganan," katanya dalam acara bertajuk Waspada DBD: Lindungi Keluarga, Selamatkan Masa Depan, yang digelar oleh Takeda Innovative Medicine di Jakarta (23/4).
Ia mengatakan, sampai dengan bulan Maret 2025 memang ada penurunan kasus DBD, tetapi dengan pola perubahan cuaca penyakit ini harus diwaspadai sepanjang tahun.
Baca juga: Marak Kasus DBD di Berbagai Wilayah, Ini Cara Pencegahannya
Dokter spesialis penyakit dalam Dirga Sakti Rambe mengatakan musim hujan memang menjadi puncak penularan DBD, tetapi ia hampir setiap hari menemukan pasien DBD dalam praktiknya.
"Kondisinya bervariasi, ada yang ringan dan bisa rawat jalan, tapi ada juga yang penyakitnya berat dan harus masuk ICU. Dengue bisa berkembang cepat dan menimbulkan komplikasi berat," katanya dalam acara yang sama.
Perburukan DBD bisa menyebabkan dengue shock syndrome dan penurunan drastis jumlah trombosit yang beresiko terjadinya perdarahan otak.
"Penyakit DBD belum ada obatnya, perawatan di rumah sakit hanya memberikan terapi suportif seperti pemberian cairan, antimual, dan penurun demam. Naik turunnya trombosit tidak bisa diprediksi. Karena itu lebih baik melakukan pencegahan," tutur dr.Dirga.
Baca juga: Setelah Banjir, Kemenkes Bagikan Tips untuk Cegah Dengue
Pencegahan ini harus menyeluruh, dimulai dari mengendalikan vektor nyamuk dengan 3M Plus, edukasi yang berkelanjutan, dan yang tidak kalah penting adalah menambah perlindungan menggunakan metode yang inovatif seperti vaksinasi yang sekarang telah mendapatkan ijin dari BPOM Indonesia.
Vaksin DBD bisa diberikan untuk anak usia 6 tahun sampai orang dewasa berusia 45 tahun. Vaksin diberikan dalam dua dosis dengan interval 3 bulan. Perlindungan dari vaksin akan menurunkan angka keparahan penyakit.
3M Plus belum dilaksanakan
Fadjar menyebutkan, program pencegahan DBD berupa 3M Plus sudah sering dikampanyekan dan masyarakat memahaminya, tapi belum melaksanakannya.
Baca juga: Waspada Demam Berdarah di Musim Hujan, Ahli Anjurkan 3M dan Vaksinasi
"Jadi bukan programnya yang salah, tapi menumbuhkan kesadaran bahwa pencegahan penyakit ini adalah tanggung jawab semua pihak, bukan cuma Puskesmas atau dinas kesehatan. Saat ini semua lini pencegahan dan pengendalian DBD harus diperkuat," katanya.
Dalam sambutannya, Wakil Menteri Kesehatan Prof.Dante Saksono Harbuwono mengingatkan bahwa WHO memiliki target nol kematian akibat penyakit dengue di tahun 2030.
"Untuk mencapainya yang penting adalah pencegahan penyakit dan terapi pengobatan lebih dini," ujarnya.
Baca juga: 5 Tanda Rematik yang Dirasakan di Pagi Hari, Apa Saja?
Untuk memperluas edukasi pencegahan DBD, Takeda meluncurkan video edukatif terbaru, situs web interaktif, dan kanal WhatsApp.
Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines, Andreas Gutknecht mengatakan peluncuran berbagai kanal informasi dengan bahasa yang lebih mudah dipahami bertujuan untuk menjangkau lebih banyak lagi masyarakat.
"Setiap orang memiliki preferensi yang berbeda dalam mendapatkan informasi kesehatan. Ada banyak informasi tentang dengue di luar sana, sebagian orang lebih suka membacanya melalui IG, sebagian lebih suka mendapatkannya dari TikTok, atau membacanya di situs web. Ini hanyalah saluran lain yang merupakan cara interaktif untuk menyediakan informasi tersebut," katanya.
Menurutnya edukasi menjadi kunci agar masyarakat tidak hanya bertindak saat dengue mewabah, tetapi paham pentingnya pencegahan sejak dini.
Baca juga: Dokter Jelaskan Tidak Ada Perbedaan Gejala DBD Dahulu dan Sekarang
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.