BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan HIT

Waspada, Gejala DBD dan Influenza Mirip, Berikut Cara Membedakannya

Kompas.com - 18/08/2023, 19:21 WIB
Yakob Arfin Tyas Sasongko,
Aditya Mulyawan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi momok bagi masyarakat Indonesia, terlebih di musim pancaroba.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), jumlah kejadian DBD mencapai 131.265 kasus pada 2022. Sebanyak 40 persen di antaranya dialami oleh anak usia 0-14 tahun.

Sementara, angka kematian akibat DBD mencapai 1.135 kasus dengan 73 persen terjadi pada anak usia 0-14 tahun.

Hal itu menimbulkan kekhawatiran masyarakat, terutama para ibu. Apalagi, gejala DBD kerap “menyaru” seperti flu atau influenza.

Baca juga: Waspada DBD Merebak di Jakarta, Warga Segera Lapor jika Ada Kasus

Guna memastikan anggota keluarga terhindar dari risiko penyakit yang disebabkan gigitan nyamuk betina Aedes aegypti, para ibu perlu tahu ciri atau gejala DBD.

Beda gejala DBD dan flu

Pada dasarnya, gejala DBD dan flu memiliki kemiripan, yakni demam. Beberapa gejala penyerta kedua penyakit tersebut juga serupa, mulai dari sakit kepala, mual, hingga nyeri otot, tulang, atau sendi.

Meski mirip, bukan berarti kedua penyakit tersebut tidak memiliki perbedaan gejala. Anak yang terjangkit influenza biasanya juga mengalami gejala gangguan pernapasan, seperti pilek, hidung tersumbat, atau batuk. Sementara, DBD tidak menyebabkan gangguan tersebut.

Perbedaan itu bisa menjadi pemandu orangtua agar DBD tidak terlambat tertangani. Di samping itu, orangtua juga perlu mewaspadai bila anak mengalami demam tinggi selama tiga hari. Tes darah lengkap wajib dilakukan jika hal tersebut dialami anak untuk mengetahui kemungkinan terinfeksi DBD.

Baca juga: Webinar UGM: Wolbachia, Inovasi Baru Penanggulangan DBD

Jangan pula terlena apabila demam pada anak turun tiba-tiba. Sebab, demam yang turun secara tiba-tiba merupakan bagian dari fase pelana kuda yang menjadi ciri khas DBD.

Untuk diketahui, fase pelana kuda DBD terdiri dari tiga fase. Pertama, fase demam (febrile phase). Pada fase ini, seseorang akan mengalami demam tinggi hingga 40 derajat Celcius dalam kurun waktu 2-7 hari.

Sejumlah gejala timbul, mulai dari mual, muntah, sakit kepala, sakit tenggorokan, muncul bintik merah, hingga nyeri pada otot, tulang, dan sendi.

Kedua, fase kritis (critical phase). Pada fase ini, pasien DBD biasanya merasakan kondisi tubuhnya membaik karena suhu tubuh perlahan menurun. Pasien pun merasa dapat beraktivitas kembali karena merasa sudah sembuh.

Baca juga: Jutaan Nyamuk Berbakteri Wolbachia Akan Dilepas di Buleleng demi Turunkan Kasus DBD

Padahal, fase tersebut justru perlu mendapat perhatian serius karena terbilang sebagai fase paling berbahaya. Pasalnya, gejala demam turun biasanya diiringi dengan penurunan jumlah trombosit di batas normal.

Penurunan keping darah bisa menyebabkan pendarahan dan kebocoran plasma darah. Kondisi ini dapat menyebabkan pasien syok. Bahkan, berpotensi mengancam nyawa.

Adapun fase kritis berlangsung selama 24-48 jam yang dapat terjadi 3-7 hari sejak demam berlangsung. Oleh sebab itu, cairan tubuh pasien harus terus dipantau.

Ketiga, fase pemulihan (recovery phase). Fase ini akan berlangsung selama 48-72 jam setelah fase kritis. Kadar trombosit pada tubuh pun mengalami peningkatan yang relatif cepat hingga kembali ke kadar normal.

Baca juga: Waspada DBD Meski Cuaca Panas Akibat Fenomena El Nino

Cegah DBD dengan 3M plus

Guna meminimalkan risiko serta melindungi keluarga terpapar DBD, terutama pada musim penghujan, ada sejumlah langkah praktis yang dapat diterapkan para ibu di rumah. Salah satunya menerapkan langkah pencegahan lewat 3M plus.

Dilansir dari laman resmi Kemenkes, langkah pencegahan 3M terdiri dari hal berikut.

Pertama, menguras tempat yang menjadi penampungan air di rumah, seperti bak mandi, kendi, dan tandon air. Kedua, menutup secara rapat tempat-tempat penampungan air tersebut.

Ketiga, memanfaatkan kembali barang bekas yang bisa bernilai ekonomis, khususnya barang bekas yang berpotensi menjadi penampungan air dan sarang nyamuk.

Baca juga: Waspada DBD di Tengah Suhu Tinggi, Kenali Gejala dan Pencegahannya

Kemudian, “Plus” dari langkah tersebut adalah mencegah gigitan dan perkembangan nyamuk. Langkah plus ini bisa bermacam-macam, mulai dari memelihara ikan pemakan jentik nyamuk, memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi, gotong royong membersihkan lingkungan, menanam tanaman pengusir nyamuk, memberi larvasida pada penampungan air yang susah dikuras, hingga menggunakan obat antinyamuk, misalnya berbentuk aerosol.

Untuk diketahui, penggunaan obat antinyamuk aerosol yang bisa membunuh nyamuk seketika. Cara menggunakan obat antinyamuk aerosol pun terbilang mudah.

Para ibu dapat menyemprotkan obat antinyamuk aerosol pada sejumlah ruangan tempat anggota keluarga beraktivitas, seperti kamar tidur, ruang tamu, dan ruang keluarga.

Sebelum penyemprotan, pastikan ruang atau kamar dalam keadaan kosong alias tidak ada orang. Selain itu, semprotkan pula ke tempat nyamuk kerap bersembunyi atau bersarang.

Baca juga: Waspada! Gejala DBD Bukan Hanya Bintik Merah

Setelah tersemprot merata, tutup pintu dan tinggalkan ruang selama 15 menit. Obat antinyamuk aerosol akan bekerja membunuh nyamuk seketika sehingga kamar bebas dari nyamuk.

Dengan langkah 3M plus, diharapkan ibu bisa mencegah DBD di rumah dan lingkungan tempat tinggal.

Baca tentang

komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com