Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/09/2013, 08:58 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com - Survei kesehatan reproduksi pada siswa sekolah bukan bentuk pornografi. Hal ini ditegaskan Direktur Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan RI Elizabeth Jane Soepardi pada temu media di Jakarta, Sabtu (7/9/2013), menanggapi pemberitaan survei organ reproduksi pada siswa SMP di sejumlah media.

Jane membantah bila survei, yang tidak hanya membahas tentang kesehatan reproduksi tersebut, dikatakan sebagai bentuk pornografi. "Ini sifatnya keilmuan bukan pornografi. Skala Tanner yang digunakan juga tidak asing di dunia medis. Yang lebih penting, jauh sebelum Indonesia negara Eropa sudah melakukannya terlebih dulu," katanya.

Jane menjelaskan, survei kesehatan reproduksi merupakan bagian dari penjaringan kesehatan anak sekolah lanjutan, yang akan rutin dilaksanakan tiap tahun ajaran baru di sekolah. Program ini dilaksanakan melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).

Sebelum mengisi survei, siswa bisa membaca petunjuknya pada 36 halaman pertama di buku petunjuk pelaksanaan teknis terbitan Kementerian Kesehatan RI. Survei kesehatan reproduksi merupakan upaya dini, agar peserta mengenal dan memahami organ reproduksinya sendiri.

Dalam buku petunjuk teknis tersebut, survei kesehatan reproduksi ada di halaman 43. Lembar ini berupa gambar kelamin laki-laki dan perempuan dengan berbagai kondisi. Siswa diharapkan mengisi lembar tersebut sesuai kondisi alat kelaminnya. Penggambaran kelamin inilah yang diduga menjadi sumber anggapan pornografi.

Padahal menurut Jane, penggambaran dengan skala Tanner dimaksudkan agar siswa tidak bingung bagaimana mengisinya. Adanya anggapan pornografi, menurut Jane, kemungkinan dikarenakan minimnya sosialisasi. "Karena itu saya akan sosialisasi ulang, tentunya dengan melibatkan semua pihak yang berkaitan dengan kesehatan anak. Baik dari pemerintah, akademia, maupun LSM," kata Jane.

Jane juga menyatakan akan melakukan evaluasi pelaksanaan penjaringan yang sudah dilakukan. Pelaksaan survei, kata Jane, seharusnya melibatkan petugas kesehatan atau UKS yang berhubungan langsung dengan kesehatan siswa. Sehingga siswa dan orangtua tidak bertanya-tanya terkait materi kesehatan reproduksi. Kendati begitu, survei ini tidak akan mundur dari pelaksanaannya karena survei ditujukan mengetahui derajat kesehatan remaja secara keseluruhan.

Melalui data ini bisa diketahui status kesehatan remaja lainnya, misalnya kecukupan gizi atau kematangan seksual. Hal ini berkaitan dengan program perbaikan kesehatan remaja yang akan disusun selanjutnya.

Harus rahasia

Pemerhati masalah anak Seto Mulyadi menilai, pelaksanaan survei kesehatan reproduksi harus bersifat rahasia. Karena bila sampai terbuka, maka akan jadi pelanggaran hak anak. "Karena kondisi reproduksi merupakan rahasia pribadi yang tidak untuk dipublikasikan," kata Seto.

Selain harus rahasia, kata dia, anak dan orangtua harus mengetahui kegunaan survei. "Sosialisasikan yang baik secara bertahap. Jangan sampai ada salah persepsi sehingga mengakibatkan salah pemahaman dan heboh," tambahnya.

Dalam pelaksanaan survei, Seto menyarankan survei bisa dibawa pulang dan diisi di rumah. Dengan cara ini orangtua bisa lebih banyak berperan mengatasi kebingungan anak. Orangtua juga dapat menjadi mediator antara anak dan guru.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau