Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 14/11/2013, 08:58 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis

KOMPAS.com - Dalam kondisi fisik sehat, seringkali muncul gejala yang bikin tubuh tidak nyaman. Misalnya kaki yang terasa sakit, kepala terasa pusing, atau mual. Berbagai gejala ini semakin membuat tubuh tak nyaman jika penyebabnya tak diketahui.

Bila kondisi ini terjadi pada Anda, bisa jadi Anda sedang mengalami kondisi psikosomatis, yaitu gangguan pada tubuh akibat kondisi psikologi. Jika sebelumnya sudah ada penyakit dan diperparah gangguan emosi, maka keadaan itu disebut penyakit psikosomatis.

 
"Sekitar 90 persen penyakit disebabkan faktor psikogenik, bukan organik. Jadi bisa dikatakan, kondisi psikis mendominasi keadaan tubuh," kata pakar mind technology, Adi W Gunawan mengutip dari The American College of Family Physicians. Hal ini disampaikannya pada media workshop bertajuk, Menavigasi Pikiran dengan Hipnoterapi Klinis, di Jakarta, Rabu (13/11/13).
 
Sedikitnya ada 15 emosi penyebab  psikosomatis antara lain memori sakit, konflik diri, menghukum diri, masa lalu atau masa kini yang tidak terselesaikan, harga diri yang mengalami trauma, dan empat jenis emosi negatif.
 
Yang termasuk emosi negatif  di antaranya rasa malu, bersalah, marah, dan takut. Rasa marah meliputi jengkel, benci, dendam, frustasi, sakit hati, dan tersinggung. Rasa malu, menurut Adi, adalah emosi destruktif penyebab penyakit psikosomatis paling besar. Malu juga bisa menyulut tiga emosi lainnya.
 
Lantas, bagaimana emosi bisa menyebabkan psikosomatis ?

"Emosi bisa diumpamakan api dari berbagai pengalaman, yang membakar tungku penuh air. Seharusnya uap air hasil pemanasan bisa keluar. Namun hal ini tidak terjadi pada tungku yang ditutup," kata Adi.

 
Adi menjelaskan perumpamaan ini. Pada tungku yang ditutup, uap air tidak bisa keluar sempurna. Akibatnya uap tertahan dan bisa mengakibatkan tungku pecah karena terlalu panas. Hal yang sama terjadi pada emosi yang terus ditahan dan tidak bisa dilepas. Kondisi ini tentu berbahaya karena bisa mengakibatkan penderitanya bunuh diri.
 
"Adanya gejala psikosomatis sebetulnya lebih baik dibanding bila tidak ada gejala apa pun. Dengan adanya gejala, maka penyakit lebih cepat diketahui dan hipnoterapi bisa segera dilakukan," kata Adi.

Hipnoterapi memungkinkan terapis menggali pengalaman masa lalunya untuk mengetahui penyebab psikosomatis. Kendati begitu, penyembuhan psikosomatis tidak semata bergantung pada terapis. Penyelesaian ini membutuhkan kerjasama dan kemauan klien, terutama untuk mengizinkan terapis membuka masa lalunya dalam keadaan rileks sangat dalam yang disebut somnambulis. Klien harus menuntun teknisi ke masa saat gejala psikosomatis terjadi. Selanjutnya klien akan mendengarkan arahan teknisi, untuk menyelesaikan apa yang terjadi sebelum gejala psikosomatis muncul.

 
Menurut Adi, hipnoterapi memiliki persentase kesembuhan tertinggi dibanding psikoanalisa dan terapi perilaku. Hipnoterapi memiliki persentase kesembuhan 93 persen setelah enam sesi terapi. Angka ini lebih tinggi dibanding psikoanalisa sebesar 38 persen dari 600 sesi terapi, dan terapi perilaku sebesar 72 persen dari 22 sesi terapi.
 
Kendati begitu Adi mengingatkan, hipnoterapi adalah terapi komplemen atau pelengkap. Terapi utama tetaplah medis yang hanya bisa dilakukan dokter, melalui pemeriksaan dan pemberian resep obat. Hipnoterapi adalah terapi penunjang sehingga kesembuhan pasien tercapai sepenuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau