”Faktor penyebab kegemukan banyak. Meski ada pengaruh metabolisme tubuh, sumber utamanya sama, yaitu penumpukan kalori dari makanan,” kata dokter spesialis gizi klinik Rumah Sakit MRCCC Siloam Jakarta, AR Inge Permadhi, Senin (2/6), di Jakarta.
Seseorang jadi gemuk bisa dipicu oleh penyakit, obat-obatan tertentu, atau pola makan keliru yang membuat metabolisme tubuh melambat. Masalah metabolisme itu mengakibatkan ada orang yang makan dengan porsi banyak, tetapi tetap kurus; atau sebaliknya, makan sedikit, tetapi cepat gemuk.
Inge menambahkan, kegemukan bisa disebabkan pemakaian hormon tertentu dalam alat kontrasepsi. Ibu beranak banyak atau perempuan yang sudah menopause juga mudah gemuk.
Faktor sosial juga bisa memicu kegemukan. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat membuat konsumsi makanan olahan dan siap saji naik. Padahal, makanan itu cenderung tinggi kalori, kaya lemak, garam, dan gula. Makanan itu tak sehat, tetapi enak.
Persoalan budaya juga mendongkrak jumlah orang gemuk. Ahli antropologi kesehatan dari Departemen Antropologi Universitas Indonesia, Sri Murni, mengatakan, pada beberapa suku bangsa, gemuk masih dianggap sebagai simbol kemakmuran.
Bagi orang Jawa, langsing adalah bentuk tubuh ideal. Namun, setelah pindah ke kota besar, bertambahnya berat badan jadi ukuran yang menunjukkan naiknya kesejahteraan.
Pandangan serupa ada di masyarakat Batak. Seorang gadis sebelum menikah wajib bertubuh langsing. Namun, setelah menikah, berat badannya harus naik. ”Jika tidak, keluarga besar akan menganggap suami tak mampu menafkahi istri,” kata Sri.
Beban ganda
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, sebanyak 13,5 persen orang dewasa berusia di atas 18 tahun punya berat badan berlebih dan 15,4 persen penduduk kegemukan. Jika pada 2013 ada lebih dari 160 juta penduduk dewasa, berarti minimal ada 46 juta orang gemuk di Indonesia.
”Indonesia menghadapi beban ganda. Selain kegemukan, masih banyak orang dewasa yang justru memiliki berat badan kurang,” kata Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Ekowati Rahajeng, Minggu (1/6).
Prevalensi orang dewasa dengan gizi kurang 8,7 persen atau setara 14 juta orang. Kondisi itu membuat penanganan kasus gizi dewasa harus spesifik, sesuai kondisi individu yang beragam.
Kegemukan adalah faktor risiko berbagai penyakit degeneratif, seperti diabetes, jantung, stroke, dan kanker. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, mempertahankan berat badan jadi salah satu indikator penyakit tak menular, selain penurunan tekanan darah dan pengendalian gula darah. ”Konsekuensinya, pemerintah pusat dan daerah wajib menerjemahkan program itu dalam rencana aksi,” kata Ekowati.
Untuk menekan laju pertumbuhan orang gemuk, Sri menyarankan pemerintah lebih gencar menyosialisasikan makanan bergizi dan seimbang, dampak kegemukan bagi fisik serta aktivitas. Jadi tidak melulu pada masalah penyakit.
”Pandangan gemuk adalah simbol kesejahteraan hanya bisa diubah lewat aspek kesehatan,” kata Sri. Namun, pesan kesehatan itu harus bisa dikemas dengan bahasa sederhana yang bisa ditangkap masyarakat. Pola makan sehat itu lebih mudah ditanamkan pada anak sekolah dibanding orang dewasa. (MZW)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.