Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/12/2014, 15:00 WIB

Oleh: Cornelius Helmy H dan M Zaid Wahyudi

TERIK Matahari tak menghentikan langkah Arif Yuliana (25) menyusuri jalan di kawasan ziarah Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (5/12). Dituntun temannya, Haris (17), ia mendatangi sebuah warung makan. Sesaat kemudian, jemari gempalnya memetik senar gitar biru.

Mengalunlah suara laki-laki bertubuh besar itu membawakan lagu ”Mirasantika” ciptaan Rhoma Irama. ”Dulu aku suka padamu dulu aku memang suka...”.

Seusai menerima uang seribuan kumal, Arif berpindah ke kios lain sambil memegangi pundak Haris. Kali ini, lagunya ”Gelandangan”, juga ciptaan Rhoma Irama. ”Menangis meratapi buruk nasibku, nasib buruk seorang tuna netra...”. Kata tuna netra di ujung lagu ditambahkan Arif menggantikan kata asli, tuna wisma.

Lagu-lagu yang ia nyanyikan hari itu adalah jalan hidup Arif. Gara-gara cairan oplosan yang rutin ia tenggak, kini Arif buta total.

”Mengamen jadi terapi saya. Setelah tak bisa melihat tiga tahun lalu, saya sangat malu dan terpukul,” katanya.

Semua bermula pada suatu malam pertengahan tahun 2011. Arif yang kurang perhatian dan kasih sayang keluarga malas pulang. Bersama tiga temannya, ia memilih menghabiskan malam dengan minum cairan oplosan seharga Rp 10.000 per botol.

Cairan oplosan itu terdiri atas alkohol 70 persen ditambah minuman rasa buah untuk mengurangi pahit alkohol. Agar efek memabukkan lebih lama, ia tenggak cairan oplosan itu bersama 20 butir pil dekstro, sebutan untuk obat bebas mengandung dextromethorphan hidrobromida (DMP) yang biasa untuk menyembuhkan batuk.

Sejak tahun 2005, Arif biasa minum minuman beralkohol dengan berbagai campuran, seperti dengan obat nyamuk. Pusing dan perut panas tak membuatnya jera.

Namun, malam itu berbeda. Beberapa jam seusai menenggak oplosan, kepala dan perutnya seperti terbakar, badannya demam, dan pandangannya kabur secara perlahan. Ia atasi dengan minum obat warung dan tidur.

Saat bangun, semua gelap. Semula ia mengira mati lampu, tetapi kemudian ia sadar, matanya tak lagi bisa melihat. ”Rasanya seperti orang gila,” kenangnya. Badannya pun terasa tak karuan. Ia dibawa ke rumah sakit.

Namun, pengobatan dua minggu di salah satu rumah sakit di Tasikmalaya itu tak membuahkan hasil. Kakak Arif, Fitri Yulianti (26), membawanya berobat ke Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung. Di sana, kornea dan saraf mata Arif dinyatakan rusak. Kebutaannya tak bisa disembuhkan lagi. ”Kalau dirujuk lebih cepat, mungkin sembuh,” kata Fitri.

Vonis dokter itu meruntuhkan kepercayaan diri Arif. Butuh setahun untuk menerima keadaan dan kembali menghadapi dunia. Ia akhirnya pasrah dan memilih musik sebagai kesempatan kedua. Sejak dua tahun lalu, ia mulai mengamen di sekitar kawasan ziarah Pamijahan dengan pendapatan Rp 35.000 per hari.

Setiap bertemu teman-temannya yang dulu hingga kini masih suka minum cairan oplosan, Arif mengingatkan agar mereka berhenti minum. Namun, ajakan itu sering tak didengar. ”Kalau tidak ingin buta seperti saya, stop minum oplosan,” katanya.

Meski demikian, ada teman Arif yang sadar. Saeful (18), yang kini jadi tukang parkir, kapok menenggak minuman keras dicampur pil dekstro karena membuatnya nyaris mati dan harus menjalani tiga hari perawatan di rumah sakit.

Halaman Berikutnya
Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau