Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perlukah Obat dan Vaksin Mendapat Sertifikat Halal?

Kompas.com - 29/09/2015, 18:40 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-undang Jaminan Produk Halal yang mewajibkan setiap pelaku usaha untuk mendaftarkan produknya guna memperoleh sertifikat halal, khususnya untuk produk kesehatan, dinilai akan berdampak luas bagi kesehatan masyarakat.

Produk kesehatan yang juga diwajibkan memiliki sertifikat halal antara lain obat, produk biologik (termasuk darah untuk transfusi dan produk turunan yang berasal dari darah), vaksin, produk kimiawi, dan produk rekayasa genetika yang digunakan untuk pengobatan atau pencegahan penyakit.

Luthfi Mardiansyah, Ketua International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) menilai, banyak konsekuensi yang akan timbul dengan penerapan undang-undang jaminan produk halal tersebut, terutama pada kesehatan masyarakat.

Salah satu persoalan yang akan dihadapi adalah hambatan pada akses obat dan vaksin. "Misalnya saja dokter meresepkan obat pada pasien, tetapi obat itu belum ada sertifikat halalnya. Jadinya dokter enggan memberikan obat itu. Fokusnya lebih pada halal atau tidak, bukannya soal efikasi obat," kata Lutfhi dalam media diskusi di Jakarta (29/9/15).

Ia menambahkan, dari segi industri juga akan banyak hal-hal problematik karena ada beberapa produk yang memang mengandung bahan tidak halal, seperti obat batuk yang mengandung alkohol atau vaksin yang dalam pembuatannya bersinggungan dengan bahan tidak halal.

Pembuatan sertifikasi halal pada produk kesehatan juga dinilai memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit yang akhirnya akan dibebankan kepada pasien berupa harga obat yang lebih mahal.

"Kalau misalnya dalam setahun hanya 5000 obat yang bisa disertifikasi, hal ini tentu berdampak pada obat-obat lain yang belum mendapat sertifikat halal. Apakah obat yang belum disertifikasi halal itu haram? Kan belum tentu. Tapi mungkin akan ada resistensi dari umat Islam karena tak mau mengonsumsi obat tanpa sertifikasi," imbuhnya.

Sementara itu Piprim B Yanuarso, dokter spesialis anak, menyebutkan bahwa program sertifikasi yang tepat adalah pelabelan haram pada suatu produk. "Karena produk yang haram itu lebih sedikit sehingga lebih mudah membuktikan halal atau tidaknya, sementara produk yang halal itu sangat banyak," katanya.

"Untuk hal-hal yang tidak ada alternatifnya dan untuk sesuatu yang darurat, tidak perlu label. IDAI mendukung jaminan produk halal, tapi faktor kesehatan masyarakat tidak boleh diabaikan," imbuh Piprim yang juga menjadi Sekretaris Jendral Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini.

Piprim mencontohkan penerapan label halal atau haram yang tidak tepat pada vaksin polio di Nigeria tahun 2003. Ketika itu semacam majelis ulama di Nigeria mengeluarkan fatwa haram untuk vaksin polio karena dianggap mengandung virus HIV dan bisa menyebabkan kemandulan. Masyarakat setempat pun menolak divaksin selama setahun.

Kemudian di tahun 2004 terjadi wabah polio, bukan hanya di Nigeria tapi juga hampir 25 negara di Afrika dan Asia dan mengakibatkan 5000 anak lumpuh. "Virus polio ini juga mampir di Indonesia yakni di Sukabumi yang menyebabkan kejadian luar biasa lumpuh layu. Padahal sejak tahun 1995 Indonesia sudah dinyatakan bebas polio," katanya.

Obat dan vaksin dinilai berbeda dengan produk konsumsi lain karena hanya dikonsumsi dalam keadaan darurat (saat sakit atau mencegah penyakit), tidak dikonsumsi berlebihan, serta sebenarnya konsumen tidak menginginkannya tetapi diwajibkan.

Negara-negara Islam lainnya juga tidak mengeluarkan sertifikasi halal untuk produk obat dan vaksin. Sementara itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menilai program sertifikasi ini bisa merusak tatanan kesehatan masyarakat.

Lutfhi mengatakan, IPMG berharap pemerintah bersedia mengkaji kembali aturan sertifikasi halal untuk produk obat dan produk kesehatan. "Peraturan mengenai pemberian informasi mengenai kehalalan produk kesehatan sudah diatur oleh Badan POM dan Kemenkes, saya rasa itu sudah cukup," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau