KOMPAS.com - Berulang kali saya dengar keluhan seperti judul di atas, bukan hanya di kamar praktik tapi juga di banyak berita seputar isu kesehatan.
Tak terima begitu saja, mulailah saya ‘bergerilya’. Dari bertanya lebih dalam hingga membaca lebih teliti. Duh, ternyata apa yang saya temukan semakin membuat hati miris.
Istilah ‘sehat’ semata-mata masih dianggap rajin olah raga, tidak menyentuh gorengan, jarang makan di luar rumah dan anti makanan dengan pengawet apalagi pewarna.
Sarapan dengan roti gandum dan havermut (yang keduanya tidak tumbuh di bumi Indonesia) dianggap sudah sehat.
Mengganti gula pasir dengan madu organik dianggap pasti tidak akan memicu diabetes. Menyantap bakmi hijau dipikir lebih menyehatkan ketimbang bihun goreng. Lebih parah lagi, rokok ‘herbal’ dikira lebih aman dibanding kretek!
Label ‘sehat’ yang kerap dijual murahan oleh para produsen, akhirnya diadopsi sebagai ‘normalitas yang baru’ oleh para konsumen yang sama sekali tidak mendapat informasi pengimbang tentang istilah sehat yang sebenarnya.
Korbannya bukan hanya orang dewasa yang jurus bacaannya terbatas, tapi anak-anak yang baru saja belajar tentang mana yang baik dan yang tidak.
Budaya ngemil pun tak luput dari incaran pedagang dan produsen. Menyitir kepercayaan usang budaya kolonial, semua yang bersusu dianggap sehat dan baik. Mulai dari susu kental manis hingga biskuit kemasan dengan iming-iming ‘mengandung semua kebaikan susu’.
Upaya keras mendorong ASI eksklusif akhirnya porak poranda begitu usia makanan pendamping mulai masuk dengan pelbagai rasa artifisial, termasuk rasa susu yang tidak sama dengan milik ibunya. Yang pasti, tidak mempunyai kualitas dan daya dukung pertumbuhan serta perlindungan seampuh susu ibu.
Menginjak usia yang lebih besar bahkan hingga dewasa, kepercayaan-kepercayaan tentang pangan sehat semakin rancu.
Di abad 21, persyaratan pangan sehat semakin ‘naik kelas’ dengan semakin dahsyatnya sepak terjang industri pangan.
Tidak cukup ayam segar disebut protein sehat, jika masih diolah dengan cara yang tidak sehat seperti dibakar dan digoreng apalagi dijadikan sosis (dan sosis goreng sekalian!). Belum lagi, ayamnya masih mengandung residu antibiotik atau hormon pertumbuhan yang dipaksakan untuk proses serakah industri peternakan ayam.
Tidak cukup camilan dianggap sehat sebatas tidak berpengawet atau warnanya mencolok, tapi masih tinggi kandungan gula, garam dan lemak.
Amat sangat tidak etis jika persyaratan pangan sehat negara maju yang sudah sedemikian ketatnya melindungi publik ternyata masih menjadi kelonggaran di negara berkembang yang statusnya seakan-akan ‘masih berjuang membuat rakyatnya kenyang saja’.
Begitu banyak produk pangan yang saat ini sudah ditolak mentah-mentah oleh publik negara maju atau minimal tidak dipandang sebelah mata, saat ini menjadi pangan populer di negri kita atas dasar rasa yang menggigit dan kepraktisan hidup.