KOMPAS.com - Toxic masculinity atau maskulinitas beracun didefinisikan oleh Dr, Raymond Hobbs, seperti yang dikutip Healthline, merupakan sebuah stigma yang membuat para pria percaya bahwa mereka terlahir kuat.
Karena stigma inilah, para pria enggan melakukan self-care yang merupakan salah satu tanda kelemahan dari dirinya.
Toxic masculinity dan self-care sangat berkaitan erat, namun ternyata ada hubungan tidak sehat di antara keduanya.
Kemudian, hubungan tidak sehat yang seperti apa yang ada di antara toxic masculinity dan self-care? Apakah ada efek samping dari hubungan tersebut?
Toxic masculinity menghambat self-care
Melansir Healthline, self-care dalam konteks kesehatan sangat berkaitan erat dengan bagaimana seseorang menjaga kesehatan fisik dan mentalnya.
Self-care sendiri dianggap sebagai salah satu faktor utama yang akan mempengaruhi terjadinya beberapa jenis penyakit yang ada di dunia.
Menurut penelitian nasional Harris Poll yang dikepalai oleh Dr. Wayne Jonas untuk Samueli Integrative Health Program pada tahun 2019, menunjukkan bahwa salah satu permasalahan yang membuat seseorang tidak melakukan self-care adalah karena ketidakmampuan seorang dokter untuk memberikan solusi yang berkaitan dengan perubahan perilaku.
Hal ini disebabkan oleh kurangnya waktu yang dimiliki oleh seorang dokter sehingga hanya memberikan arahan yang berkaitan dengan penyakit yang diderita.
Pasien dalam hal ini disarankan untuk menanyakan masalah perubahan perilaku tersebut ketika menemui dokter.
Permasalahan lainnya berkaitan dengan keengganan pasien, terutama pasien pria, untuk terbuka terhadap dokternya.
Masalah ini sangat berkaitan erat dengan masalah toxic masculinity yang membuat pria merasa bahwa dirinya kuat dan tidak ingin menunjukkan kelemahannya kepada siapapun, termasuk kepada dokternya.
Wanita biasanya lebih senang mengungkapkan perasaannya kepada teman atau keluarga, namun pria biasanya tidak senang melakukannya.
Perilaku ini dianggap tabu di dalam masyarakat sehingga para pria sering tidak jujur dengan masalah kesehatan yang dideritanya.
Bahkan, menurut Cleveland Clinic, 65 persen pria yang berpartisipasi dalam kampanye MENtion It pada tahun 2019 mengakui bahwa mereka menunda untuk pergi ke dokter kecuali memang memiliki sakit yang parah.
Toxic masculinity mengganggu kesehatan mental
Kaitan antara toxic masculinity dengan kesehatan mental ternyata sangatlah kuat karena menurut Healthline, masalah ini bisa dikaitkan dengan sindrom superhero.
Sindrom superhero sendiri adalah sindrom yang membuat seseorang merasa bahwa kelemahan adalah suatu hal yang menyedihkan dan memalukan.
Dr. Tisha Rowe kepada Healthline mengatakan bahwa sindrom superhero ini menjadi sumber dari beberapa masalah kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan disfungsi ereksi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Sarjana Psikologi Universitas Udayana yang terbit di Jurnal Psikologi Udayana pada tahun 2016, menunjukkan bahwa angka percobaan bunuh diri pada pria dewasa muda di Bali cukup tinggi.
Dari penelitian tersebut, diketahui juga bahwa percobaan bunuh diri yang dilakukan salah satunya disebabkan oleh ketidakmampuan responden untuk mengungkapkan perasaan frustasinya.
Anggapan bahwa pria adalah makhluk yang kuat membaut percobaan bunuh diri yang dilakukannya dianggap sebagai kesalahan orang lain sehingga dirinya tidak terlihat lemah.
Karena bisa menyebabkan angka kematian meningkat, maka konsep toxic masculinity harus dihilangkan dan dorongan untuk melakukan self-care juga perlu ditingkatkan.
https://health.kompas.com/read/2022/07/30/150000068/toxic-masculinity-bikin-pria-ogah-lakukan-self-care