Pengamatan Kompas, pengunjung terus mengalir ke kawasan yang terletak di Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, sekitar 15 kilometer utara pusat pemerintahan Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, tersebut. ”Mumpung cuaca cukup cerah, Pak. Jika hujan, jalan menuju Puncak Sanga Likur licin,” demikian alasan Solikin (45), pengunjung asal Semarang, yang tengah makan di warung depan Balai-Kantor Desa Rahtawu, kemarin.
Selama enam tahun terakhir, untuk mencapai Puncak Sanga Likur, pengunjung tidak melulu jalan kaki ke lokasi tersebut. Karena sebagian jalan sudah diaspal, mereka bisa naik motor atau ojek hingga Dukuh Semliro. Dari dukuh tersebut, kemudian perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar dua jam.
Jalan setapak
Sebelumnya, warga yang ingin ke Puncak Sanga Likur harus jalan kaki melalui jalan setapak yang ada di sisi kiri maupun kanan puncak itu. Titik temu kedua sisi terletak di hutan lindung Bunton, yang memiliki air tiga rasa. Dari lokasi terakhir ini, pengunjung kemudian melanjutkan perjalanan ke puncak, melalui jalan yang terjal.
Puncak Sanga Likur itu berukuran sekitar 10 x 12 meter persegi. Di sana terdapat empat arca batu, yaitu arca Batara Guru, Narada, Togog, dan Wisnu. Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan bagaimana mengangkut arca tersebut ke puncak itu mengingat medan yang begitu berat.
Pada tahun 1990, di seputar puncak tersebut, Prof Gunadi dan empat orang tenaga stafnya dari Balai Arkeologi Nasional Yogyakarta (kini Balai Arkeologi Yogyakarta) menemukan Prasasti Rahtawun.
Selain empat arca, di kawasan itu ada pula enam tempat pemujaan yang letaknya tersebar dari arah bawah hingga menjelang puncak. Masing-masing diberi nama (pewayangan) Bambang Sakri, Abiyoso, Jonggring Saloko, Sekutrem, Pandu Dewonoto, dan Kamunoyoso.
Bagi peziarah tradisional, sebelum mencapai Puncak Sanga Likur, mereka terlebih dahulu wajib singgah di enam lokasi pemujaan tersebut sehingga dibutuhkan waktu paling cepat sehari untuk sampai ke puncak. Pengunjung biasa bisa langsung ke salah satu tempat yang dituju. (SUP)