Pertemuan kami dengan ibu muda berusia 26 tahun ini berlangsung seperti kencan buta. Terjadi sebelum ia menjalani persalinan yang berisiko. Harap maklum, dalam konteks kesehatan masyarakat, ia tergolong ODHA alias orang dengan HIV/AIDS.
Dia enggan menyebutkan alamatnya, termasuk kepada Zainur Rahman, petugas konseling. Zainur adalah Manajer Kasus Klinik VCT (Voluntary Consulting and Testing, pemeriksaan dan konsultasi sukarela) ”Seruni” di bawah Rumah Sakit Umum Daerah dr Iskak, Tulungagung, Jawa Timur.
Waktu itu, menjelang persalinannya, ia ditemani suaminya. Beberapa hari kemudian, akhirnya persalinan itu terjadi pada awal April 2011 di RSUD dr Iskak. Bayinya laki-laki berbobot 3,4 kilogram.
Pasca-melahirkan, timbul rentetan masalah. Pertama, dokter yang menolong persalinan melarang pemberian air susu ibu (ASI) buat si bayi demi mencegah penularan HIV/AIDS.
Masalah kedua, sang suami yang belakangan baru tahu istrinya mengidap HIV/AIDS kecewa dan berniat meninggalkannya.
”Sebelum persalinan, suaminya hanya mengetahui kehamilan istrinya bermasalah sehingga harus menjalani konsultasi untuk mendapat prosedur persalinan dengan sectio caesar (bedah caesar). Baru saat ini suami tahu, ada HIV/AIDS. Suami mana pun tentu amat berat mendapati kenyataan seperti ini,” kisah Zainur.
Inilah sisi lain dari dinamika sosial di Tulungagung, daerah berpenduduk 1 juta jiwa ini yang dihidupi antara lain oleh ”ekspor” tenaga kerja wanita (TKW).
Asosiasi Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia mencatat, sekitar 1.000 perempuan dalam sebulan diberangkatkan ke luar negeri. Namun, hanya sepertiga di antaranya yang legal.
Dulu Tulungagung dikenal sebagai salah satu sentra industri rokok keretek, seperti daerah kota lain sepanjang lembah Brantas. Namun, industri rokok keretek sudah mati 10 tahun silam. Garmen yang sempat mencuat era 1990-an terlindas serbuan produk asal China.
Bisa jadi, fenomena TKW adalah pintu masuk HIV/AIDS di daerah ini. Masalahnya, penatalaksanaan penyakit ini, termasuk bagi para korban, harus berhadapan dengan pola sosial-budaya yang cenderung statis.
Akibatnya, menyandang status sebagai perempuan ODHA hamil seperti sebuah ketidakberdayaan yang komplet. Bagi sang pengidap, dalam realitas sudah cukup beruntung jika bisa kembali hidup ”normal” berumah tangga, dan mendapat suami yang mengayomi ekonominya. Alangkah fatalnya jika pasangan hidup, atau suaminya, mengetahui status ODHA. Bisa-bisa rumah tangga terancam bubar. Maka, masuk akal jika pernikahan dengan ODHA tidak diawali dengan keterusterangan sang perempuan akan status HIV-nya.
Si ibu hamil yang dikisahkan di awal tulisan ini bukanlah bekas TKW, melainkan bekas tenaga yang menemani tamu menyanyi di kafe. Di Temanggung, jumlah perempuan yang bekerja seperti ini mencapai sekitar 400. Karena desakan ekonomi, tak jarang mereka melayani ajakan kencan pengunjung kafe.
Menurut aktivis anti-HIV/ AIDS, Ifada Nurahmania, kampanye anti-HIV/AIDS sudah gencar dilakukan di kafe-kafe lagu. Ifada adalah pendiri dan pemimpin Pusat Studi Perempuan Tulungagung (Puspita) yang mengelola kampanye anti- HIV/AIDS di Tulungagung.
Bedah ”caesar”
Menurut protokol kesehatan, perempuan yang melahirkan dalam status pengidap HIV/AIDS harus melalui operasi bedah caesar. Tindakan medis itu bisa mengurangi risiko bayi tertular virus HIV saat ibunya mengalami pendarahan.
Namun, dalam suasana psikologi tertekan, seraya harus merahasiakan status HIV-nya, sulitlah bagi perempuan untuk meminta layanan caesar pada birokrasi puskesmas, rumah sakit, dan dinas kesehatan.
Sejauh ini, tercatat 13 persalinan ODHA di Tulungagung. Namun, hanya tiga di antaranya yang melewati caesar. Terungkap bahwa selama ini dokter punya cara untuk mengakali jadwal demi menghindarkan kewajiban caesar. Modusnya, dengan mengundurkan jadwal caesar sehingga si ibu sudah keburu melahirkan di rumah atau melalui jasa bidan. Cara itu bisa meniadakan operasi caesar yang berbiaya Rp 7 juta.
Menurut Zainur dan Ifada, tak ada pihak yang melindungi ODHA, apalagi ODHA hamil, kecuali relawan yang tenaga dan biayanya amat terbatas.
Berkat desakan terus-menerus dari lembaga nirlaba, akhirnya persalinan ODHA hamil di awal kisah ini berlangsung dengan caesar. Kepala Dinas Kesehatan Tulungagung dr Gatot D Purwanto menegaskan, secara normatif asal sudah terdaftar di puskesmas, ODHA hamil bisa mendapat layanan caesar.
Namun, dr Oni Dwi Irianto yang membantu persalinan itu menyatakan tak ada jaminan ODHA hamil lainnya otomatis menikmati layanan caesar.
Alangkah ”ribetnya ” persalinan bagi perempuan berstatus ODHA. (DODY WISNU PRIBADI)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.