JAKARTA, KOMPAS - Kampanye penganekaragaman pangan yang dilakukan pemerintah sejak puluhan tahun lalu hingga kini belum menunjukkan hasil memuaskan. Konsumsi beras masyarakat Indonesia, termasuk kelompok ekonomi menengah atas, masih sangat besar.
”Tidak ada yang salah memakan nasi asal tahu jumlah dan proporsinya,” kata Ketua Gerakan Masyarakat Sadar Gizi Tirta Prawita Sari saat dihubungi dari Jakarta, Senin (2/1/2012).
Sebagai bangsa pemakan nasi, budaya makan orang Indonesia yang ditanamkan sejak kecil adalah orang yang belum makan nasi dianggap belum makan. Roti, mi, atau umbi-umbian masih dianggap makanan selingan. Budaya ini terus dipertahankan, baik mereka yang kaya maupun miskin. Ini membuat konsumsi beras Indonesia termasuk yang paling tinggi di dunia.
Badan Pusat Statistik melansir konsumsi beras 2011 mencapai 113,48 kg per kapita per tahun. Jumlah ini turun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 139,15 kg per kapita. Adapun konsumsi beras global pada tahun 2007 64 kilogram per kapita.
Pola makan yang menjadikan nasi sebagai makanan utama dan roti atau mi sebagai makanan selingan membuat konsumsi karbohidrat masyarakat berlebih. Di sisi lain, konsep kemodernan yang dianut masyarakat adalah makanan kemasan dan siap saji yang kaya lemak dan garam.
Dosen Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor, Evy Damayanthi, mengatakan, pola konsumsi masyarakat yang kelebihan karbohidrat terjadi bersamaan dengan kurangnya konsumsi buah dan sayur. Aktivitas fisik masyarakat pun cenderung menurun.
”Kondisi ini memicu semakin banyak penduduk yang menderita penyakit degeneratif, seperti kanker, diabetes, jantung, atau stroke,” ujarnya.
Pola makan dengan karbohidrat berlebih ini selaras dengan temuan Riset Kesehatan Dasar 2010. Konsumsi karbohidrat masyarakat rata-rata 61 persen dari porsi gizi seimbang 50-60 persen. Konsumsi lemak 25,6 persen dari kebutuhan 25 persen. Namun, konsumsi protein hanya 13,3 persen dari kebutuhan 15 persen.
Menurut Evy, konsumsi beras kelompok menengah atas tetap lebih sedikit dibandingkan kelompok ekonomi bawah. Kelompok ini memiliki kemampuan mengonsumsi lauk lebih dari satu jenis sehingga otomatis konsumsi nasi akan turun.
Data Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, konsumsi karbohidrat berlebih banyak terjadi di daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi, seperti Nusa Tenggara Timur, yang konsumsi karbohidratnya mencapai 76,9 persen.
Tirta mengatakan, mengubah kebiasaan makan masyarakat tidak mudah. Anjuran untuk mengonsumsi pangan beragam harus disertai ketersediaan sumber pangan di pasaran, mudah didapat, dan terjangkau.
”Mengubah budaya butuh waktu lama, terus-menerus, dan berkelanjutan, tidak bisa instan,” katanya.
Menurut Evy, kampanye penganekaragaman pangan yang dilakukan pemerintah kurang menarik. Metode yang digunakan lebih banyak ditekankan pada penggunaan bahan pangan nonberas untuk berbagai keperluan lain, seperti untuk kue.
”Kampanye makanan sehat, beragam, dan berimbang justru kurang,” katanya. Seharusnya, lanjut Evy, tidak perlu ada istilah makanan favorit. Makin banyak jenis makanan yang dikonsumsi, hal itu akan semakin baik.
Untuk mengubah pola konsumsi masyarakat, pendidikan anak sejak dini menjadi kunci untuk mengatasi sulitnya mengubah budaya makan orang tua. Meski demikian, proses edukasi harus berhadapan dengan gencarnya iklan makanan minuman kemasan dan siap saji yang dibangun industri. (MZW)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.