KOMPAS.com - Meski tidak banyak, beberapa anak saat demam dapat mengalami kejang. Angka kejadian kejang demam terjadi pada 2-5 persen anak antara usia 6 bulan sampai 5 tahun. Kejang merupakan hal paling dicemaskan oleh orangtua meski tidak membahayakan dan pada umumnya tidak berdampak buruk pada tumbuh dan berkembangnya anak nantinya.
Dalam menyikapi masalah kejang demam ini, biasanya bukan hanya orangtua yang cemas. Terkadang, sebagian dokter yang menangani juga terbawa arus emosi orangtua dengan melakukan intervensi yang berlebihan khususnya dalam penanganan dan pemeriksaan.
Prosedur penanganan yang seharusnya diminimalkan, tetapi seringkali terlalu kaku dalam menerapkan teori dan protap sehingga menimbulkan penanganan dan pemeriksaan laboratorium yang berlebihan seperti pemeriksaan gula darah, elektrolit, pemeriksaan EEG dan MRI.
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 derajat celcius) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium atau di luar sistem susunan saraf pusat atau otak. Kejang demam biasanya terjadi pada 24 jam awal demam atau hari pertama demam. Anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian kaku, kelojotan dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu, napas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal kembali.
Kejang biasanya berakhir kurang dari 1 menit, tetapi walaupun jarang dapat terjadi selama lebih dari 15 menit. Kejang demam jarang terjadi lebih dari 1 kali dalam 24 jam. Kejang karena sebab lain atau kejang yang tidak disebabkan oleh demam akan berlangsung lebih lama, dapat terjadi pada salah satu bagian tubuh saja dan dapat terjadi berulang.
Pemeriksaan dan diagnosis
Pemeriksaan dan penegakaan diagnosis klinis kejang demam tak terlalu banyak kecuali untuk mencari penyebab kejang atau bila terdapat kejang demam kompleks atau komplikata. Dokter biasanya menanyakan riwayat kejang demam pada anggota keluarga. Pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab seperti darah tepi, elektrolit dan gula darah.
Bila tak ada riwayat pengeluaran cairan seperti muntah, diare, dan tanda kekurangan cairan lainnya sebenarnya pemeriksaan ini tidak perlu. Dalam praktek sehari-hari, sering dijumpai anak dengan keadaan normal, makan minum baik dan tidak ada riwayat yang berpotensi gangguan keseimbangan elektrolit dan gula darah selalu diperiksa. Pemeriksaan radiologi atau rontgen seperti X-ray kepala, CT Scan kepala atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi bila curiga meningitis (infeksi selaput otak), ensefalitis (infeksi otak) atau abses otak.
Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) seperti tindakan fungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas misalnya kejang demam komplikata pada anak usia >6 tahun atau kejang demam fokal. Jika seorang anak yang diimunisasi lengkap sesuai jadwal bila mengalami kejang demam sederhana, dengan cukup melakukan intervensi minimal dan pemeriksaan minimal sebaiknya tidak harus dikhawatirkan. Pemeriksaan darah rutin dan pungsi lumbal rutin biasanya tidak perlu, dan risiko dari prosedur neurodiagnostik (pencitraan atau EEG), antipiretik dan antikonvulsan profilaksis jauh lebih besar daripada manfaatnya.
Penanganan
Bila di rumah, dengan petunjuk dokter bisa saja dilakukan pemberian diazepam 0,4-0,6mg/KgBB/dosis melalui dubur atau rektal supposutoria. Saat di rumah sakit, menghentikan kejang dengan melakukan pemberian diazepam dosis awal 0,3-0,5 mg/KgBB/dosis IV (perlahan-lahan). Bila kejang masih belum teratasi, dapat diulang dengan dosis yang sama 20 menit kemudian. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya harus segera dibawa ke rumah sakit terdekat.