KOMPAS.com — Segera memiliki momongan setelah menikah adalah impian bagi kebanyakan pasangan suami istri. Setahun, dua tahun menunggu karunia itu datang mungkin masih dikatakan wajar. Namun, tidak bagi Menus Soedibyo (49). Perempuan yang kini telah dikaruniai sepasang anak kembar ini harus menunggu hingga tujuh tahun perjuangan dengan total enam tahun menjalani program bayi tabung.
Menus berkisah, setahun setelah pernikahannya di tahun 1991, ia memutuskan untuk mengikuti program reproduksi dengan teknologi berbantu. Ia melakukannya bukan tanpa alasan. Jarak usia yang terpaut delapan belas tahun dengan suaminyalah yang membuatnya demikian. Wanita berparas ayu itu sedikit khawatir dengan usia suaminya yang sudah tak muda lagi untuk segera punya anak.
Awalnya, Menus melakukan upaya inseminasi, yaitu teknologi yang prinsipnya memilih sel sperma yang terbaik dari suami yang sebelumnya diproses di laboratorium. Kemudian sperma tersebut dibantu untuk masuk ke dalam saluran vagina istri agar lebih mudah mencapai sel telur.
Sayangnya, upaya yang dilakukannya itu belum membuahkan hasil, Menus pun kembali mencoba inseminasi setelah beberapa bulan berselang. Hasilnya pun ternyata masih mengecewakan.
Menus tidak putus asa, dia pun beralih ke metode yang berpeluang lebih besar, yaitu bayi tabung. Menurut Ivan Sini, dokter spesialis kebidanan dari RS Bunda, bayi tabung memang memiliki tingkat keberhasilan paling besar daripada program reproduksi dengan teknologi berbantu lainnya.
Tingkat keberhasilan bayi tabung mencapai 40-45 persen, khususnya bagi wanita di bawah usia 35 tahun. Sebagai perbandingan, untuk inseminasi, tingkat keberhasilannya yaitu sekitar 10-15 persen.
Saat itu, Menus melakukan upaya tersebut di Singapura. Ternyata selain menginginkan keberhasilan memiliki momongan, dia juga ingin dilayani dengan lebih baik.
"Di rumah sakit tempat saya melakukan inseminasi dulu, saya kurang mendapat privasi, jadi saat itu saya mencari yang pelayanan non-medisnya juga baik. Waktu itu, teman menyarankan untuk pergi ke Singapura, ya saya ikuti," jelasnya.
Menjalani program tersebut ternyata tidak semudah yang diperkirakan Menus sebelumnya. Selama berminggu-minggu, Menus harus menetap di Singapura, artinya dia harus terpisah dengan suaminya yang dinas di Indonesia. Ditambah lagi, program tersebut menuntut Menus untuk tetap sehat dan berkali-kali disuntik hormon guna membuat tubuhnya subur.
Usaha tersebut sempat membuahkan hasil, Menus dinyatakan hamil. Namun, tak lama berselang, dia mengalami keguguran. Kendati demikian, Menus tidak putus asa, dia masih mau mencoba program bayi tabung lagi.
Menus bahkan rela menunggu agar tubuhnya "siap" kembali menjalani program tersebut. Dia memberi jeda satu tahun pasca-keguguran demi memulihkan kondisi tubuhnya. Meskipun menurut dokter, seorang wanita bisa kembali menjalani program bayi tabung lagi setelah enam bulan pasca-keguguran.
Bayi tabung kedua, ketiga, keempat, dan kelima, semua Menus lakukan di Singapura. Sayangnya, semuanya berujung serupa, selalu berhasil hamil, tetapi gagal dipertahankan hingga persalinan.
Menus yang saat itu berdinas di Tokyo, Jepang, pun memeriksakan kesehatan reproduksinya di sana. "Sama seperti pendapat dokter-dokter sebelumnya, saya sebenarnya 99 persen normal, hanya hormon progresteron saya kurang, makanya agak sulit untuk hamil," jelasnya.
Kesedihan tak dimungkiri lagi hadir di diri Menus, tetapi optimisme untuk bisa punya anak tetap ada. Menus menuturkan, saat menjalani ibadah haji, dia sempat memohon untuk diberi petunjuk, jika dia ditakdirkan untuk bisa punya anak maka dia bisa pulang dengan selamat, tetapi jika memang tidak bisa, dia tidak akan bisa kembali lagi.
"Nyatanya saya masih bisa pulang, berarti Allah memang mengizinkan saya untuk bisa punya anak, meski saat itu saya belum tahu kapan. Itulah yang membuat saya tetap optimistis," kata dia.