Infeksi ebola sebenarnya merupakan penyakit yang jarang. Itu sebabnya perusahaan farmasi belum terlalu tertarik melakukan investasi untuk melakukan riset vaksinnya.
Menurut Dr.Willian Schaffner dari Vanderbilt University di Nashville, AS, karena termasuk langka, para ilmuwan juga kesulitan untuk melakukan studi di bidang ini. "Berbeda dengan virus cacar karena bisa menemukan orang yang terpapar penyakit ini di mana pun," ujarnya.
Sebelum terjadi wabah, sejak virus ini pertama kali ditemukan pada tahun 1976 hanya ada 2000 kasus. Tetapi ketika penyakit ini mewabah, sejak awal tahun sudah ada 1.323 orang di 3 negara yang terinfeksi dan 729 diantaranya meninggal dunia.
Situasi gawat yang kini terjadi di Afrika tersebut mendorong lebih dari 4.500 orang menandatangani petisi di Change.org agar lembaga pengawas obat dan makanan AS (FDA) lebih cepat membuat vaksin ebola dan obatnya.
Menurut Dr.Anthony Fauci, direktur National Institute of Allergy and Infectious Disease, sebenarnya sejak bulan Maret lalu sudah dilakukan penelitian untuk pengembangan vaksin ebola.
"Vaksin tersebut sudah diuji pada kera dan pada bulan September nanti akan masuk pada tahap 1 uji klinis pada manusia. Diperkirakan pada pertengahan tahun 2015 sudah tersedia vaksin meski dalam jumlah terbatas, untuk para tenaga kesehatan," katanya.
Fauci menjelaskan, dalam uji klinis tersebut para responden tidak akan diberikan paparan virus ebola, namun mereka akan diberi dosis vaksin untuk dilihat level antibodinya apakah sesuai dengan level pada penelitian kera. Para ilmuwan juga akan bisa mengetahui keamanan vaksin ini.
Menurut Guru Besar Virus dan Biologi Molekuler Universitas Udayana, Bali, Gusti Ngurah Mahardika, sebenarnya bukan hanya ebola yang diabaikan para ilmuwan, tapi juga penyakit flu burung, rabies, dan HIV/AIDS.
”Penyakit ini terjadi di negara berkembang sehingga cenderung tidak mendapat perhatian dari peneliti-peneliti Eropa atau AS. Ini dicuekin. Risetnya tidak cukup gencar dilakukan,” ujar Ngurah seperti dikutip KOMPAS (2/8/14).
Selain itu, tambahnya, mencari hewan model untuk kondisi manusia itu sulit. ”Penyakit itu di manusia terjadi dengan hebatnya, sementara pada hewan tidak demikian parah,” katanya.
Selain itu, faktor ekonomi juga memengaruhi. ”Ekonomi di negara berkembang terbatas,” katanya lagi. (Kevin Sanly Putera)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.