Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/08/2015, 17:40 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional perlu dievaluasi secara menyeluruh. Itu karena banyak keluhan dari masyarakat dan tenaga kesehatan terkait mutu layanan dan kejelasan regulasi program yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan itu.

Presidium Dokter Indonesia Bersatu Yadi Permana mengatakan, biaya yang dibayarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kepada rumah sakit, khususnya swasta, terlalu rendah untuk memenuhi tuntutan pelayanan secara optimal. Apalagi fasilitas yang tersedia belum memadai untuk melayani para pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

"Ini membuat rumah sakit swasta enggan ikut BPJS. Kalau rumah sakit pemerintah, tak akan masalah karena biayanya disubsidi," kata Yadi, dalam diskusi yang digelar Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI), Minggu (9/8), di Jakarta.

Selain itu, pembayaran gaji dokter di RS swasta yang melayani BPJS tak menentu. Dokter dibayar Rp 2.000 per peserta JKN, sedangkan mereka dituntut bekerja sesuai dengan standar profesi.

Menurut Yadi, pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah merekomendasikan standar upah minimum bagi dokter umum, yaitu Rp 15 juta per bulan. Namun, para dokter, khususnya dokter muda, hanya mendapat upah Rp 2,5 juta per bulan karena disesuaikan anggaran daerah.

Selain itu, kebijakan pembiayaan JKN untuk paket pelayanan dibedakan antara RS tipe A, B, dan C. Contohnya, biaya operasi usus buntu bagi kelas C, di RS tipe A Rp 4,61 juta, di RS tipe B Rp 3,72 juta, dan di RS tipe C dengan biaya Rp 2,84 juta. "Jenis pengobatan yang diberikan sama, tetapi mengapa selisihnya terlalu besar?" ujarnya.

Anggota Komisi IX DPR, Siti Masrifah, menyatakan, berdasarkan hasil peninjauan di lapangan, fasilitas kesehatan untuk layanan JKN belum memadai. Bahkan, ada penurunan mutu layanan karena RS tidak bisa menutupi biaya layanan kesehatan.

Masalah lain yang muncul di antaranya aktivasi kartu kian lama, rujukan fasilitas kesehatan terbatas, dan tidak semua biaya terapi ditanggung BPJS Kesehatan. Contohnya, aktivasi kartu yang semula 7 hari diperpanjang menjadi 14 hari sampai 1 bulan.

Panitia kerja

"Untuk mencari solusi dari semua masalah BPJS Kesehatan, kami akan membentuk panitia kerja pada persidangan kelima dan keenam nanti. Mungkin pertengahan Agustus ini mulai dibahas," kata Siti.

Menanggapi hal itu, Asisten Manajer Departemen Hubungan Antarlembaga BPJS Kesehatan Suciati Mega Wardani mengatakan, pembahasan semua masalah dalam penerapan JKN baru bisa dilakukan setelah program itu berjalan dua tahun. "Evaluasi untuk pembahasan akan disiapkan akhir tahun ini," ujarnya.

Sejauh ini, lanjut Suciati, pelaksanaan JKN mengalami banyak kendala. Salah satunya, banyak peserta mandiri JKN tak membayar iuran bulanan. "Setelah mendapat pengobatan, banyak peserta mandiri tak memenuhi kewajiban membayar iuran. Akibatnya, keuangan BPJS Kesehatan defisit," katanya.

Untuk membantu masyarakat yang tak paham sistem pembayaran memakai anjungan tunai mandiri (ATM), BPJS Kesehatan menyiapkan program penerimaan premi online bank (PPOB). Jadi, loket pembayaran iuran dengan uang tunai akan disediakan di sejumlah tempat, seperti pasar dan toko. Hal itu ditargetkan berjalan tiga bulan ke depan.

Suciati menambahkan, BPJS tetap memberi layanan bagi warga yang mengikuti prosedur dengan benar. Penyebab banyak peserta BPJS tak mendapat layanan adalah mereka tak memenuhi syarat yang ditetapkan. (B06)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau