KOMPAS.com - Keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional masih jadi tantangan ke depan. Apalagi, iuran bagi peserta penerima bantuan iuran pada 2016 hanya disetujui Rp 23.000 per peserta, sedangkan kolektibilitas peserta bukan penerima upah masih belum maksimal.
Demikian benang merah diskusi "Dua Tahun Bekerja Bersama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial: Pencapaian dan Harapan", Senin (9/11), di Jakarta. Acara itu diprakarsai Ikatan Dokter Indonesia, Organisasi Buruh Internasional (ILO), dan Australia Award Alumni Reference Group on Health.
Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Donald Pardede menyatakan, iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) dari pemerintah tahun depan dinaikkan dari Rp 19.225 menjadi Rp 23.000 per peserta setiap bulan. Besaran iuran itu lebih kecil dari yang diusulkan Dewan Jaminan Sosial Nasional Rp 36.000 per peserta per bulan. Jadi, kemungkinan perlu suntikkan dana lagi dari pemerintah akhir tahun depan demi menutup defisit.
Bagi Donald, keputusan iuran peserta PBI Rp 23.000 per peserta per bulan lebih pada pilihan politik. Sebab, pemerintah akan menutupi berapa pun kekurangan pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). "Ini pilihan politik, mau beri sekarang atau di belakang," ujarnya.
Selain itu, pemerintah memiliki hitungan besaran iuran bagi peserta bukan penerima upah (PBPU) dan pekerja penerima upah (PPU). Begitu besaran iuran peserta PBPU dan PPU ditetapkan, baru bisa dihitung perkiraan dana yang harus disuntikkan pemerintah pada akhir tahun.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia Wilayah DKI Jakarta Slamet Budiarto menilai, kenaikan iuran PBI menjadi Rp 23.000 itu baru menutup kekurangan defisit tahun lalu. Dengan demikian, akhir tahun depan, dibutuhkan tambahan biaya kesehatan demi menutup kekurangan iuran program itu.
Pengumpulan iuran
Asisten Manajer Manajemen Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Tati Haryati Denawati mengatakan, implementasi JKN juga menghadapi kendala rendahnya kolektibilitas iuran segmen PBPU. Segmen peserta itu yang kolektibilitasnya rendah, tetapi pembiayaannya tinggi. Peserta yang mendaftar ialah peserta sakit yang saat sehat cenderung tak membayar iuran lagi.
Tahun 2014, jumlah peserta PBPU sekitar 9 juta orang, tetapi 35 persen pasien rawat inap berasal dari PBPU sehingga menghabiskan biaya kesehatan besar. "Pemanfaatan JKN dari total 13,6 juta PBPU mencapai 15,1 juta kunjungan rawat jalan lanjutan dan 2,96 juta kasus rawat inap di rumah sakit," ujarnya.
Donald menambahkan, peningkatan kolektibilitas PBPU jadi pekerjaan rumah yang tak mudah. Karena itu, upaya BPJS Kesehatan mempermudah warga membayar iuran melalui kerja sama dengan berbagai pihak patut diapresiasi. Harapannya, kolektibilitas meningkat.
Mantan Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti menilai, harus ada komitmen kuat dan pendanaan cukup untuk menjamin keberlanjutan JKN. "BPJS tak boleh defisit. Kegiatan promotif dan preventif harus diperkuat, iuran PBI dievaluasi lagi, dan layanan kesehatan harus sesuai keekonomian," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Jaminan Kesehatan Watch Iswan Abdullah menjelaskan, sebenarnya ada potensi kolektibilitas dari segmen PPU, tetapi hingga kini belum tergarap secara optimal. Sejauh ini, baru ada 8 juta peserta PPU, sedangkan saat ini ada sekitar 36,4 juta orang belum menjadi peserta. (ADH)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.