Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/01/2016, 18:00 WIB
DEPOK, KOMPAS — Selama ini muncul pandangan, pelaku teror sulit meninggalkan jalan teror yang pernah dilakukannya. Sekali jadi teroris akan berbuat teror selamanya. Namun, dalam kasus Indonesia, berbaurnya kembali pelaku teror ke masyarakat dan meninggalkan ideologinya amat dimungkinkan.

Peneliti psikologi terorisme Gazi memaparkan hal itu saat mempertahankan disertasinya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (13/1). Ia lulus dengan predikat sangat memuaskan.

Gazi menjelaskan, ada dua pola besar pelaku teror meninggalkan jalan terornya. Dua pola itu ialah melalui deradikalisasi atau meninggalkan ideologi membentuk negara berdasarkan agama tertentu serta disengagement atau hanya menolak kembali melakukan kekerasan.

"Mereka meninggalkan teror karena merasa bersalah atas jatuhnya korban tak berdosa, penentuan jihad tanpa pertimbangan keagamaan, dan rasa tanggung jawab sebagai pemimpin organisasi," ujarnya.

Penelitian Gazi dilakukan kepada 5 anggota Jemaah Islamiyah yang pernah jadi pelaku teror bom Natal 2000, bom Bali 2002, ataupun mengikuti pelatihan militer.

Selain rasa bersalah, mereka menolak kembali melakukan kekerasan karena ada perubahan pemahaman tentang konteks jihad. Ideologi mendirikan negara agama bisa dihilangkan karena konsep itu masih jadi perdebatan. Akan tetapi, jihad tak bisa dihilangkan karena punya dasar kuat dalam kitab suci.

Namun, konsep dan konteks jihad dalam pandangan mereka berubah. Sebelumnya, jihad dalam arti berperang bisa dilakukan di mana saja, tanpa ada batasan tempat dan waktu. Kini, mereka berpandangan jihad hanya bisa dilakukan di daerah konflik, tak bisa di daerah aman. Bahkan, kini mereka menganggap menghidupi keluarga sebagai jihad.

Pandangan itu menentukan sikap mereka pada organisasinya. Sebagian pelaku memilih tetap berada di dalam organisasi meski menolak cara-cara kekerasan, memutuskan keluar dan bersikap berseberangan, ataupun tak tegas terhadap organisasi asalnya.

Relasi sosial

Menurut Gazi, relasi sosial pelaku teror menentukan sikap mereka untuk meninggalkan teror. Itu dipengaruhi turunnya komitmen pada organisasi, menurunnya ketidakpercayaan kepada pemimpin organisasi, konflik dengan sesama anggota organisasi, dan perjumpaan dengan orang di luar kelompok yang dulu dianggap musuh.

"Pelaku teror akhirnya sadar, sebagian orang yang dulu dianggap kelompok musuh ternyata ada yang baik," ujarnya.

Promotor disertasi, yang juga Guru Besar Psikologi UI, Hamdi Muluk menyatakan, riset Gazi menunjukkan pelaku teror bisa meninggalkan jalan terornya melalui reevaluasi kognitif. Itu butuh dukungan dan kemauan politik untuk deradikalisasi atau disengagement guna mencegah munculnya terorisme di masa depan.

"Di Indonesia, deradikalisasi dan disengagement tak perlu dipertentangkan karena bisa berjalan simultan," ujarnya. (MZW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com