Rentetan serangan teror di sejumlah negara sejak medio November mengagetkan dunia. Dengan keji, banyak orang menjadi korban.
Serangan itu meningkatkan kewaspadaan negara-negara, juga Indonesia yang sempat diguncang aksi serupa. Kengerian yang ditimbulkan menyadarkan bahwa ancaman teror tetap ada dan bisa terjadi di mana saja.
Seminggu setelah serangan teror di beberapa lokasi di Paris, Perancis, 13 November, yang menewaskan 129 orang dan melukai 349 orang, penyanderaan terhadap sekitar 170 orang terjadi di sebuah hotel di Bamako, Mali. Rabu (2/12), teror terjadi di pusat layanan sosial di San Bernardino, Amerika Serikat, menewaskan 14 orang dan melukai 17 orang.
Peneliti psikologi teror Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Gazi Saloom, Kamis (19/11), mengatakan, pelaku teror adalah pribadi normal, bisa berpikir sehat, dan tak punya masalah psikopatologi. Namun, mereka mengalami krisis identitas yang dipicu hal-hal psikologis, seperti kehilangan sesuatu, seseorang, atau sedang mengalami kegagalan.
Krisis identitas itu bisa dialami semua orang, persoalan umum yang dihadapi semua manusia. Karena itu, semua orang berpeluang menjadi teroris.
Peluang itu akan terwujud jika orang dengan krisis identitas berjumpa kelompok teror, kumpulan orang-orang dengan krisis identitas yang punya tekad mewujudkan cita-citanya.
Masalahnya, kelompok teror agresif memperluas jaringannya. Mereka juga pandai meyakinkan, mampu memberi harapan, dan menjanjikan kepastian untuk menjawab kegamangan mereka yang mengalami krisis identitas. "Saat itulah indoktrinasi berlangsung," katanya.
Indoktrinasi
Peneliti psikologi teror Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Riau, Mirra Noor Milla, menambahkan, indoktrinasi selalu diawali transformasi identitas calon pelaku teror yang direkrut. Dalam kasus kelompok teror berdasar paham agama, identitas keagamaan calon diubah sesuai pandangan keagamaan kelompok.
"Orang yang mengalami krisis identitas dan mencari kebermaknaan hidup akan mudah dimasuki identitas baru," katanya.
Setelah identitas pribadi hilang, terbentuklah identitas kelompok. Pada tahap itu, tindakan seseorang bukan lagi atas nilai atau kepentingan individu, melainkan kelompok. Keberhasilan dan kebermaknaan hidup mereka bukan lagi untuk dirinya, tetapi demi kelompoknya.
Berikutnya, calon pelaku teror akan diajak menyelami makna hidup. Perekrut akan membuat hidup calon pelaku teror tak bermakna. Dalam kasus radikalisasi berdasar paham agama, mereka akan dibuat jadi orang penuh dosa dan lemah.
Untuk jadi hebat lagi, harus bertobat. Setelah berubah, calon pelaku teror itu diberi penghargaan diri baru hingga termotivasi hidup lebih bermakna, mau melakukan apa pun demi kejayaan kelompoknya.
Identitas itu akan terus diperkuat pimpinan kelompok yang membenarkan tindakan mereka. Cara paling sering digunakan adalah membandingkan teror kelompok lain terhadap kelompok mereka di tempat lain, atau mencari kambing hitam atas berbagai ketidakadilan yang dialami kelompoknya. Pembenaran itu membuat pelaku teror tega berbuat keji.