KOMPAS.com - Perjuangan seorang ibu sebelum dapat memeluk buah hati mungilnya tiba di dunia tidaklah sederhana. Dalam menjalani proses konsepsi, hamil, hingga persalinan, ibu membutuhkan usaha sekaligus kesabaran yang besar. Terlebih, jika ada komplikasi dalam kehamilan seorang ibu tentu membutuhkan upaya ekstra, serta dukungan yang tiada henti dari orang-orang di sekitarnya.
Seperti yang dialami oleh Utami (35). Sebelum dapat memeluk putra pertamanya Hafidz yang kini berusia lima bulan, ia harus melewati perjuangan yang cukup panjang. Utami menikah di tahun 2006 dan sudah ingin memiliki buah hati sejak saat itu. Tak lama, ia memang hamil, namun sayangnya janin di dalam kandungannya keguguran.
Menurut dokter, kandungannya saat itu lemah sehingga tidak sanggup bertahan menghadapi guncangan. Saat itu memang Utami masih berpergian dengan membonceng motor.
Tak menyerah dengan gagalnya kehamilan pertamanya, Utami tetap mencoba untuk kembali hamil. Namun nasib berkata lain, ia tak kunjung hamil hingga tujuh tahun. Pemeriksaan menunjukkan dirinya memiliki kista di buluh rahimnya sehingga menghalangi sperma untuk mencapai sel telur.
"Dokter bilang kalau kista saya enggak diambil, saya enggak akan bisa hamil. Tapi saya enggak mau menyerah dengan apa kata dokter, saya percaya saya bisa hamil," ujar Utami saat ditemui di kediamannya di Tangerang.
Dengan usaha keras serta doa yang tak pernah putus, Utami pun dinyatakan hamil di usia 34 tahun. Senang bukan main, ia berusaha supaya kandungannya tetap sehat. Namun kehamilannya tak semulus yang dibayangkan.
Posisi kepala janin sudah mengikuti gravitasi sehingga plasentanya pun tertekan hingga ke bagian bawah rahimnya. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan menjadi plasenta previa yaitu istilah yang menggambarkan plasenta menutupi jalan lahir.
Dokter spesialis kebidanan dan kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) Dwiana Ocviyanti mengatakan, plasenta previa merupakan salah satu dari tiga hal yang menjadi ancaman penyebab kematian ibu. Plasenta previa, kata dia, dapat memicu terjadinya pendarahan.
"Dalam kondisi plasenta previa, bayi sulit untuk dapat dikeluarkan karena jalan lahirnya tertutup plasenta. Sementara, pendarahan mungkin saja terjadi sehingga ibu kehilangan banyak darah," tutur Dwiana dalam acara Nutritalk Sarihusada beberapa waktu lalu di Jakarta.
Beruntung, Utami sudah mengetahui lebih dulu risiko tersebut melalui hasil pemeriksaan ultrasonografi (USG) yang dijalaninya. Maka Utami pun semakin rajin memeriksakan kandungannya untuk mencegah komplikasi lebih banyak dari kondisi plasenta yang tidak seharusnya.
Hal itu dibenarkan oleh Dwiana. Menurutnya, cara terbaik untuk mencegah komplikasi dari plasenta previa adalah dengan deteksi dini dengan USG yang dilakukan di usia kehamilan 3-4 bulan. "Pemeriksaan kehamilan rutin merupakan hal vital dalam menjaga kehamilan yang sehat," tegasnya.
Di samping rajin memeriksakan kandungannya, kehamilan berisiko Utami dapat ditekan juga karena faktor orang-orang terdekat yang sangat mendukung, serta fasilitas kesehatan yang terbilang dekat dari kediamannya.
"Saya patut bersyukur karena memiliki suami siaga. Di usia kehamilan saya sembilan bulan, saya sempat mengalami pendarahan, mungkin karena posisi plasenta yang menutupi jalan lahir. Untungnya, suami langsung membawa saya ke rumah sakit yang hanya lima menit dari rumah. Di sana, saya langsung menjalani operasi bedah Caesar. Meski pun saya inginnya normal, tapi keadaannya cukup sulit," tutur Utami.
Ya, Utami mungkin satu dari calon ibu yang beruntung. Kehamilan berisikonya dapat dilewatinya dengan baik sehingga putranya Hafidz kini dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat. Namun tidak semua calon ibu seberuntung Utami, sehingga mereka pun menghadapi risiko kematian yang tidak kecil.
Angka Kematian ibu dan bayi