Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/01/2015, 14:15 WIB

Oleh: Adhitya Ramadhan

KOMPAS.com - Musisi kenamaan Fariz Rustam Munaf (56) kembali ditangkap karena mengonsumsi narkoba. Hal itu menambah daftar figur publik yang kesekian kali ditangkap karena narkoba. Rehabilitasi yang pernah dijalani seolah percuma. Narkotika mencengkeram otak hingga menimbulkan kecanduan tak berujung.

Mantan pengguna narkoba, Peter Bunjani, Kamis (8/1), mengatakan, sekali menggunakan narkoba lalu kecanduan, maka seumur hidup keinginan untuk memakai narkoba lagi tak pernah hilang. Peter yang sudah 15 tahun tak menggunakan narkoba pun mengakui keinginan itu masih ada. ”Mungkin, sampai mati keinginan untuk make tetap ada,” katanya.

Peter menggunakan narkoba pertama kali ketika masuk kuliah pada 1994 karena pengaruh lingkungan. Di antara semua jenis narkoba, ia paling sering mengonsumsi putau. Ketika memakai putau, ia mengaku merasa nyaman, tenang, dan seolah tanpa masalah, terutama saat efek putau mencapai puncak. Dari hanya mencoba, putau jadi kebutuhan Peter.

Ia pun berulang kali berobat ke dokter. Proses mengurangi dan menghilangkan racun narkoba dalam tubuh (detoksifikasi) kerap dilakukan. Namun, ia kembali menggunakan narkoba. Usia 25 tahun menjadi titik balik Peter dan ia mulai memikirkan masa depannya. Apalagi banyak temannya yang sukses. ”Teman yang enggak pake narkoba sudah jadi orang semua, kok, aku masih begini-begini saja. Temanku yang sama-sama pakai putau udah banyak yang mati,” katanya.

Menurut Deputi Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Diah Setia Utami, kecanduan narkoba adalah penyakit kambuhan menahun (chronic relapsing disease). Seseorang yang sudah menggunakan narkoba akan sulit berhenti. Itu sebabnya tingkat kekambuhan pencandu narkoba yang telah menjalani rehabilitasi tinggi.

Seseorang disebut kecanduan bilamana dosis penggunaan narkoba terus naik dan jika dihentikan menimbulkan gejala putus zat (withdrawl). Contohnya, pengguna heroin akan merasa kesakitan luar biasa di sekujur tubuh jika berhenti menggunakan narkotika itu, bahkan sampai berteriak menahan sakit.

Sensasi menyenangkan

Diah menjelaskan, pada hipotalamus otak ada pusat kesenangan yang mengontrol semua rasa sensasi menyenangkan. Jika seseorang beraktivitas menyenangkan bagi dirinya, apalagi secara rutin, selain adrenalin akan diproduksi, juga endorfin, zat biokimia yang dihasilkan tubuh yang membantu mengurangi rasa sakit.

Narkoba yang dikonsumsi masuk ke aliran darah hingga ke otak. Narkoba yang masuk akan diterima reseptor di otak lalu memberikan sensasi kesenangan, kebahagiaan, dan kenyamanan. Karena sensasi itu, pencandu narkoba akan cenderung memakai narkoba berulang kali. Saat itu hormon endorfin dari dalam tubuh yang memberi rasa bahagia berhenti berproduksi karena tertekan narkoba. Fungsi endorfin digantikan narkoba.

Efek narkoba tak hanya berhenti pada tertekannya produksi endorfin. Sel reseptor yang menangkap narkoba dalam otak akan mengingat hadirnya narkoba sebagai sumber kesenangan. Ikatan reseptor dan narkoba begitu kuat. Jadi, saat pemakaian narkoba terhenti dan tak ada lagi sensasi bahagia, otak merasa kehilangan dan menagih.

Setiap penggunaan jenis narkoba memiliki gejala putus zat yang berbeda. Mereka yang memakai narkoba jenis stimulan, seperti sabu, akan depresi dan lesu. Dalam jangka panjang, bisa mengakibatkan gangguan jiwa. Mereka yang memakai narkoba jenis depresan, seperti putau atau heroin, akan cemas, gelisah, dan sakit di sekujur badan saat putus zat. Adapun mereka yang memakai jenis halusinogen bisa mengalami gejala gangguan jiwa jika putus zat.

Rehabilitasi

Menurut psikiater di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta, Carlamia H Lusikooy, banyak faktor penyebab pencandu narkoba kambuh, di antaranya tersedia narkoba, hukum tak berpihak, serta kontrol dan dukungan dari lingkungan sekitar minim. Karena itu, selain rehabilitasi medis, perlu rehabilitasi sosial bagi pencandu, terutama penerimaan keluarga dan lingkungan sekitar.

Bagi pencandu yang telah direhabilitasi dan berulang kali kambuh, terapi substitusi bisa jadi pilihan. Misalnya, terapi rumatan metadon bagi pengguna heroin. ”Manusia menyenangi sesuatu yang punya sensasi, apalagi saat tak nyaman. Otak pencandu narkoba akan ingat sensasi kesenangan bersumber dari narkoba. Karena itu, ia akan pakai narkoba lagi agar bisa merasakan sensasi itu,” kata Diah.

Carlamia menjelaskan, kambuh adalah bagian dari proses rehabilitasi. Jadi, kambuh bukan berarti gagal dalam rehabilitasi. Sekecil apa pun usaha pencandu untuk menahan diri tak menggunakan narkoba, itu harus diapresiasi.

Pencandu narkoba mengalami fase tenang dan ada saat kambuh. Kecanduan narkoba tak tampak karena yang dikendalikan adalah perilaku. Karena kecanduan narkoba terkait neurotransmiter otak, meski hasil tes urine menunjukkan negatif narkoba seusai detoksifikasi, otaknya masih minta narkoba.

Proses rehabilitasi untuk memperkuat kemampuan pengguna narkoba agar mampu menolak keinginan atau godaan mengonsumsi narkoba lagi. Jangan sampai memori sensasi dari narkoba yang tertanam pada sel reseptor otak memenangi pertempuran batin dan mengendalikan perilaku. Selama rehabilitasi, pencandu diajarkan melawan keinginan untuk memakai narkoba. Itu butuh waktu lama, bahkan bisa berlangsung seumur hidup.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com