JAKARTA, KOMPAS.com
Demikian terungkap dalam pembukaan
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia Prof Soehartati Gondhowiardjo mengatakan, estimasi angka kejadian kanker di Indonesia per tahun sekitar 200.000 kasus baru (100 kasus baru per 100.000 penduduk). Tidak kurang dari 60-70 persen penderita kanker memerlukan pengobatan radiasi. Dengan demikian, sekitar 140.000 kasus per tahun membutuhkan radioterapi dengan jenis kanker terbesar ialah kanker mulut rahim, kanker payudara, dan kanker nasofaring.
Hanya saja, fasilitas pelayanan kesehatan radioterapi yang ada masih terbatas, yakni 35 pusat radioterapi dengan cakupan sekitar 11.000 orang per tahun. Akibatnya, terdapat daftar tunggu yang panjang. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, misalnya, daftar tunggu pasien untuk mulai radiasi antara dua minggu dan empat minggu. ”Standar IAEA menganjurkan satu pesawat radioterapi untuk satu juta penduduk,” ujarnya.
Pakar onkologi radiasi, Prof M Djakaria, mengatakan, penantian itu dampaknya berbeda antarpasien. ”Tergantung stadium, proses pertumbuhan, dan sifat tumornya. Untuk kanker yang cepat bertumbuh, stadium dapat saja semakin tinggi jika penanganan terlalu lama,” ujarnya.
Direktur Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Reno Alamsyah mengatakan, keterbatasan fasilitas mengakibatkan masyarakat berobat ke luar negeri atau ke terapi alternatif. Namun, terkait radioterapi, pengeluaran izin ketat dan mempertimbangkan keamanan bagi pasien, pekerja radiasi, dan lingkungan. ”Terapi harus akurat dan efektif membunuh sel kanker. Dosis harus tepat, jika tidak malah menambah keganasan kanker. Di sisi lain, diupayakan seminimum mungkin mengganggu jaringan di sekitarnya,” ujarnya.
Direktur Bina Pelayanan Penunjang Medik Kementerian Kesehatan Zamrud E Aldy mengatakan, peningkatan jumlah fasilitas radioterapi membutuhkan biaya besar. ”Secara bertahap akan coba dipenuhi,” ujarnya.